Senin, 21 Januari 2008

Para Tutor KF (Keaksaraan Fungsional).

Foto bersama para Tutor di Teluk Melano Kab. Kayong Utara. Penuh
antusias dan semangat yang tinggi setelah mengikuti penjelasan singkat
tentang pelaksanaan program KF ( Keaksaraan Fungsional). Para tutor
optimis dapat menjalankan tugasnya untuk mengentaskan Buta aksara yang
ada di Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara. Semoga aja apa
yang diharapkan dan tujuan yang di inginkan dapat tercapai, Amin...

Kamis, 17 Januari 2008

Keaksaraan Fungsional

Bogor dengan jumlah penduduk 4 juta yang tersebar di 40 kecamatan, menurut data BPS (2006) memiliki 149 ribu warga yang buta huruf (15 tahun keatas). Hal ini yang menyebabkan Kab. Bogor menyandang peringkat 5 terburuk dari 25 kab/kota se-Jawa Barat dalam masalah pendidikan. Sedih (hi..hi..). Tapi pemerintah Kab Bogor optimis bahwa ketertinggalan tersebut dapat dikejar. Tahun 2009 merupakan target pemerintah Kab Bogor untuk menjadi daerah yang bebas buta aksara (kita berjuang dan berdo'a untuk itu, Amin).
IPB dengan LPPM-nya telah menggulirkan proyek yang diberi nama Keaksaraan Fungsional. Periode pertama dengan kerjasama Departemen Pendidikan telah dilaksanakan. Dan dengan antusiasme dan dukungan masyarakat, menunjukkan hasil yang sukses. Hal ini menjadi sorotan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan melalui Dinas Pendidikan Kab Bogor mengajak kerjasama untuk proyek yang sama. Maka digulirkanlah Program Keaksaraan Fungsional periode kedua. Targetnya, tentu saja warga Kab Bogor (ya..iyalah, SECARA.. yang biayain DisNak Kab, and penyelenggaranya IPB lagi, he..he..), tapi khusus untuk ibu-ibu yang telah berumur yang belum bisa/lancar Calistung (baca, tulis, hitung). Kenapa namanya Keaksaraan Fungsional? Kenapa bukan Pemberantasan Buta Huruf? Selain lebih "Keren", hal ini juga disebabkan meminimalisir rasa minder calon warga belajar (WB) yang tidak ingin disebut orang yang buta huruf.
Beberapa kecamatan di Bogor akan membentuk beberapa kelompok belajar. Kelompok belajar ini akan terdiri dari WB yang domisilinya tidak jauh dari tempat belajar. Para WB akan difasilitasi oleh tutor dari mahasiswa IPB, dan untuk mengantisipasi masalah perekrutan WB dan bahasa maka direkrutlah seorang tutor lokal dari masing-masing daerah. Jadi dalam sebuah kelompok belajar terdapat 2 tutor, tutor mahasiswa dan tutor lokal. Tugasnya sama, yaitu memfasilitasi WB agar mahir dalam Calistung.
Program ini akan berlangsung selama 3 bulan dengan 114 jam belajar. WB yang berhasil mengikuti program dengan baik akan mendapatkan Sukma (Surat Keterangan Melek Aksara). Ini adalah suasana belajar di kelompok belajar yang saya fasilitasi:

Sedangkan ini adalah suasana kelompok belajar Arief (rekan saya):
Terlihat sekali, bahwa jumlah WB di kelompok belajar saya lebih banyak dibanding di kelompok belajar Arief. Kenapa?
Ini bukan gambar warga yang sedang nonton sulap atau atraksi lainnya. Ini adalah antrian warga yang ingin mendapatkan minyak tanah dengan harga yang murah. WB kelompok Arief termasuk dalam warga yang antri. Harga minyak tanah di pengecer berada di level Rp3500, sedang di tempat ini hanya Rp2600. Dan setelah saya tanya, warga mengatakan bahwa mereka belum mendapatkan bantuan kompor dan tabung gratis dari pemerintah. Ironis? Warga desa -yang rendah pendidikan dan daya beli- pun, harus menjadi korban program pemerintah yang tidak jelas. Membuat minyak tanah sebagai barang yang langka, tetapi tidak menjalankan dengan sungguh-sungguh program konversi minyak tanah ke gas. Wallahu'alam.

Pendidikan Luar Sekolah

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh faktor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergulir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama.

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternatif di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah... Semoga

Sumber : www.pendidikan.net
Penulis: Isjoni (Dekan FKIP Universitas Riau)

Rabu, 16 Januari 2008

Sang Tunanetra Yang Luar Biasa

Andrie Wongso

Hidup adalah pembelajaran tanpa henti. Setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu, jika kita telaah lebih jauh, selalu menjadi momen pembelajaran. Baik itu berupa halangan, rintangan, tantangan, atau berbagai kejadian apapun yang kita temui. Jika bisa disikapi dengan cara yang bijak, maka selalu ada sisi positif yang bisa kita ambil sebagai bagian proses belajar.

Maka, tak salah, jika orang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Namun, semua itu harus dikembalikan kepada individu yang menjalaninya. Jika tak ada proses evaluasi dan tindakan perbaikan, pembelajaran yang didapatkan pun tak kan maksimal. Hadirnya pengalaman, baru akan bernilai jika kita bisa memaknainya dengan sudut pandang dan mindset positif.

Seperti yang saya jumpai saat saya memberikan seminar di Asian Agri Medan pada tanggal 8 Januari 2008, dengan tema "If Better is Possible, Good is Not Enough". Ketika acara, saya mendapat "pelajaran" yang sangat berharga. Sebagaimana setiap kali seminar, ada banyak orang yang antusias mengikuti seminar. Kemudian, banyak pula yang lantas ingin berfoto dan meminta tanda tangan. Namun, ada satu hal yang luar biasa saat itu. Salah satu orang yang sangat antusias tersebut ternyata adalah seorang penyandang tunanetra.

Yang menjadikannya luar biasa, orang yang bernama Roswidi itu, adalah tekadnya. Meski punya keterbatasan fisik, hal tersebut tidak menjadi halangan baginya untuk berkarya. Hebatnya, dengan kekurangan itu, ia ternyata adalah sosok yang berada di balik suksesnya acara seminar. Pria yang mengaku sebagai pendengar setia acara saya, Smart Motivation di radio Smart FM setiap Senin ini, adalah event organizer acara yang khusus menangani sound system acara. Dengan keterbatasan itu, Roswidi membuktikan pada semua orang, bahwa ia tak beda dengan orang kebanyakan.

Bicaranya yang terdengar semangat, menunjukkan betapa keterbatasan yang dimilikinya, sama sekali bukan halangan untuk sukses. Bahkan, ia mengaku sudah menjalani usaha sound system itu selama lima tahunan. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi pemain keyboard di berbagai acara. Selain itu, ia ternyata juga menjadi pengusaha onderdil sepeda. Roswidi benar-benar menunjukkan kepada saya dan semua orang yang hadir saat itu, bahwa sukses memang hak siapa saja, "Success is my right!" Ia adalah contoh nyata orang yang bisa "melihat" dengan tekad dan hati, bahwa halangan dan tantangan, sebenarnya hanyalah bagian dari proses pembelajaran diri.

Jika menengok keadaan kita, hal ini tentu adalah sebuah hal yang sangat luar biasa. Semangat dan daya juang Roswidi patut dicontoh. Apalagi, bagi kita yang dikaruniai tubuh lengkap dan tak kurang suatu apa pun. Seharusnya, dari contoh kisah Roswidi ini, bisa menumbuhkan semangat dalam diri.

Sungguh, perjalanan saya kali ini ke kota Medan memberi pengalaman yang luar biasa. Apalagi, Roswidi sempat berkata, "Kita dapat melakukan apapun, meski tanpa kedua mata. Sebab, kita masih punya kaki, tangan, otak, dan pikiran yang bisa kita maksimalkan." Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung arti yang sangat luar biasa. Roswidi membuktikan, bahwa dengan tindakan nyata, ia pun bisa berkarya layaknya manusia seutuhnya.

Untuk itu, seperti komitmen saya untuk menjadikan tahun ini sebagai tahun Think and Action 2008, kisah Roswidi ini seharusnya mampu memacu kita untuk berpikir dan bertindak maksimal. Jika orang yang kurang secara fisik saja (maaf: buta) mampu, bagaimana dengan kita yang sehat?

Maka, mari kita jadikan semua cobaan dan tantangan, bukan sebagai halangan. Namun, justru jadi batu loncatan menuju kesuksesan. Dengan think and action, kita buktikan diri mampu menjemput semua impian.


Salam sukses
Luar Biasa!!!

Andrie Wongso

Jumat, 11 Januari 2008

Learning, Growing, and Learning to Grow

"I used to hang around on the streets, getting a little money by singing and performing for people. I was lazy. This place, the Learning Farm, has changed my life," says Dedi Sudhandi, a 22-year old resident at the Learning Farm. Dedi, and 29 other young men, former street kids, are learning about organic farming and building skills that will enable them to have a productive future.

Photo of the Learning Farm
Students take responsibility for tasks related to running the farm and learn new skills through hands on training.

All activities and lessons at the Learning Farm take a "learning by doing" approach. Launched by World Education in 2005 with funds from a private donor, staff and advisors have developed a curriculum that teaches core skills such as math, literacy, computers, English, and life-skills, within the day-to-day context of communal living and organic farming. The boys produce organic vegetables for their own consumption, and sell the remaining produce and products to a consumer network of individuals, stores, offices and schools. Students at the Learning Farm also make and sell handicrafts that emphasize the use of recycled and minimal environmental impact materials. Eventually, boys with sufficient experience will develop small spin-off farming enterprises of their own.

Of course, all this does not happen without dedication, guidance and no small amount of physical and mental labor. "These urban youth have started to handle unfamiliar tools such as pitchforks, machetes, and hoes to clear land, make compost, and plant beds. They regularly wake up before 6 in the morning to farm, later collectively reflecting on and evaluating what they've learned and keeping personal accounts of the process. The shift from an urban lifestyle, with a largely undefined schedule, easy money and little responsibility to others, to life in a tightly-knit community in its pioneer phase, has been difficult, but the willingness of these guys to engage in this process is encouraging and exciting," observes Jiway Tung, Director of The Learning Farm. He ought to know: he is right alongside them, day in and day out.

Photo of Dedi and Dewa
Through their experience on the Learning Farm, Dedi (right) and his friend Dewa have become optimistic about the future.

"I am learning how to save money and plan for my future," says Dedi, who has lived at the Learning Farm since January 2006. "I had no rules and when I got money I spent it immediately. Now, I appreciate the structure here. I have to get up early and work hard, but I am learning too. There is discipline here and I am realizing that discipline is important for my future. I am optimistic that what I am learning here will enable me to become a consultant in organic farming."

The majority of Indonesia's youth are caught in a cycle that is anchored by poverty, and perpetrated by a lack of education, skills and opportunity. World Education's Learning Farm is making it possible for some of Jakarta's street children to lead healthy, happy and productive lives, through environmentally conscientious and sustainable development. World Education is helping youth like Dedi learn how to cultivate the land, their minds, and their bodies.

Cambodia: Rural Communities Take Charge of Children's Education

"Authorities, communities, and teachers now work together to improve education. Together we identify out-of-school children and help them to find ways to go back to school. The support has really helped my commune and we are proud of the positive changes we made."
- Houl Seourn, chief of the Commune Council of Boeung Char
World Education and its partners serve over 60,000 children in 165 schools in 3 provinces. Scholarships have been provided to over 6,000 primary and secondary school students.

In the remote regions of Cambodia, some of the country's poorest communities have limited access to schools, teachers, or educational support. Although the right to a basic education for every child is guaranteed in the Cambodian constitution, children in remote areas have not had access to government services. There are only a few complete school buildings in these areas, and it is difficult to recruit teachers to villages with poor living and working conditions. Few families can afford to purchase educational supplies and uniforms and parents often prefer to keep children, especially girls, at home to contribute to household income. These issues particularly hurt children who are left at the margins of Cambodian society—those who are from ethnic minority groups, impoverished, affected by HIV and AIDS, or disabled.

The children of Chour Krang, a village in the northeast province of Kratie, were affected by many of these issues. Before World Education began implementing the Education Support to Children in Under-served Populations (ESCUP) Project with its local partners, children from the Steang minority group had to walk almost three miles a day through dense bush and forest to reach their school. The youngest were often kept at home because of the distance, delaying their education.

The children of Beoung Char, an island located in the Mekong River along the border of Kratie Province, faced a similar problem. Families were spread out over the 12-mile island, which lacked proper roads and infrastructure. According to Houl Seourn, chief of the Commune Council of Boeung Char, "many of the children lived too far away from the three schools on the island, and villagers were concerned about the limited education opportunities for their children."

Through ESCUP, part of the EQUIP1 partnership led by American Institutes for Research, World Education and its partners work with underserved communities to improve access to education. In Kratie Province, World Education and its partners consulted with school committees, village leaders, and parents in communities like Chour Krang and Beoung Char, to identify the different obstacles to education. With ESCUP support, community members worked together to devise solutions and take action. In Chour Krang, community members chose to build a temporary school building closer to the village. ESCUP provided the funds for materials, while community members provided labor.

Children from Chour Krang stand outside their new school building during construction.

By working together, the community is now more involved and engaged in keeping children in school. Today, more than 113 children are now attending the school and children are able to enroll at age six, instead of waiting until they can manage the long walk to school. Non Phorn, the deputy village chief of Chour Krang, noted that even though there are limited resources in the village, he is "glad that the local people made contributing labor to the new village school a priority because education is a precious thing for all the children in the village."

In Beoung Char, the community came together to construct several small schools in areas far from the government schools. However, the community could not afford to hire teachers and it was difficult to recruit trained teachers to work in their remote area. After consultation, ESCUP worked with the community to identify local community members and train them as teachers. Houl Seourn describes the benefits of training local teachers: "this has improved the education services tremendously, especially because the teachers come from our own community and understand the children and their situations well. The support from ESCUP facilitated better collaboration between the communities, schools, and the Ministry of Education, Youth and Sports (MoEYS), and strengthened the role of the community in education."

Rabu, 09 Januari 2008

Lima Jurus Pengendalian Diri

Oleh : Adi W. Gunawan

Baru-baru ini saya mendapat email dari seorang pembaca buku, sebut saja Pak Anton, yang menanyakan cara untuk mengendalikan pikiran. Pak Anton merasa selama ini bukannya ia yang mengendalikan pikirannya namun pikirannya lah yang mengendalikan dirinya. Saat ingin berpikir positif.. eh.. yang muncul malah pikiran yang negatif. Di lain kesempatan, menurut Pak Anton, ia sulit mengendalikan dirinya dari dorongan keinginan yang ia tahu tidak seharusnya ia turuti.

Misalnya Pak Anton ini baru makan. Saat ditawari kawannya makan, ia menerima tawaran itu dan ikut makan bersama kawannya. Di lain kesempatan, saat badannya lagi capek, habis bekerja seharian, ia diajak kawannya dugem. Lha, kok ya dituruti ajakan ini. Padahal Pak Anton tahu tubuhnya butuh istirahat. Dan benar, karena kurang istirahat Pak Anton jatuh sakit.

"Bagaimana ya Pak cara untuk bisa mengendalikan diri saya? Saya tahu apa yang harus saya lakukan namun ada bagian lain dari diri saya yang mendorong-dorong saya untuk melakukan hal yang tidak ingin saya lakukan. Seringkali saya merasa ada konflik dalam diri saya dan yang menang adalah bagian yang mendorong saya melakukan hal yang sebenarnya, menurut saya, tidak perlu saya lakukan. Setelah melakukannya saya merasa menyesal, bersalah, dan  jengkel pada diri saya", tanya dan keluh Pak Anton pada saya.

Pembaca, apa yang dialami Pak Anton ini sangat lumrah kita alami. Setiap hari pasti ada konflik kecil dalam diri kita. Bahkan untuk urusan bangun tidur saja kita sudah mengalami konflik diri, ada satu bagian yang berkata, "Hei... sudah pagi nih. Sudah waktunya bangun. Siap-siap ke kantor", dan bagian yang satu lagi berkata, "Nggak perlu bangun sekarang. Lima menit lagi lah. Kan tadi malam kamu tidurnya cukup larut malam. Kalo ditambah lima menit kan nggak apa-apa toh".

Anda pernah mengalami hal seperti ini?

Lima jurus yang saya jelaskan di artikel ini berguna sebagai strategi untuk mengendalikan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Jurus ini bisa anda terapkan untuk apa saja, yang berurusan dengan pengendalian diri.

Ok, sekarang mari kita bahas masing-masing jurus. Anda bisa menggunakan setiap jurus ini, secara terpisah, berdiri sendiri saat anda mencoba mengendalikan diri, atau bisa beberapa jurus secara bersamaan.

Jurus pertama adalah mengendalikan diri dengan menggunakan prinsip kemoralan. Setiap agama pasti mengajarkan kemoralan, misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila.

Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?

Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara yang tidak wajar. Bahasa yang lebih langsung adalah kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seijin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka lho.

Jurus kedua pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.

Misalnya seseorang menghina atau menyinggung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan menguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan "bodoh" yang seharusnya tidak kita lakukan.

Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengendalikan diri.

Bagaimana jika sudah melakukan jurus satu, prinsip moral, dan jurus dua, kesadaran, ternyata kita tetap sulit mengendalikan diri?

Lakukan jurus ketiga yaitu dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar nggak tahan, mau "meledak" karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya, berikut ini:
• Apa sih untungnya saya marah?
• Apakah benar reaksi saya seperti ini?
• Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?
• Kalau saya marah dan sampai melakukan tindakan yang "bodoh" nanti reputasi saya rusak, kan saya yang rugi sendiri.

Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sebenarnya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita nggak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi, saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan menurun.

Jurus keempat pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak sadari bahwa ini hanya sementara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi ini surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab. Oh ya, tahukah anda bahwa kata bertanggung jawab itu dalam bahasa Inggris adalah responsibility, yang bila kita pecah menjadi response-ability atau kemampuan memberikan respon?

Kalau sudah menggunakan kesabaran masih juga belum bisa, bagaimana?

Lakukan jurus kelima yaitu menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.