Rabu, 12 Desember 2007

SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah

Latar belakang berdirinya SLTP Alternatif

Dalam sebuah pertemuan yang menggagas pendidikan, oleh warga Desa Qaryah Thayyibah dibawah pohon besar nan rindang, Kepala Desa tiba-tiba keluar dari lingkaran warga menuju tempat yang terbuka, menggali tanah dan menanamkan sebuah bibit pohon kelapa "Kita penduduk Desa Qaryah Thayyibah akan melakukan banyak hal sebelum pohon kelapa ini berbuah" ucapnya ketika kembali.

Bertahun-tahun kemudian seorang pemuda berkata padaku (dulu aku peserta sekarang menjadi Kepala Desa) "Ada sebuah pertemuan tentang pembibitan benih lokal di Universitas Qaryah Thayyibah di dekat pohon kelapa yang mulai berbuah"

Kondisi Pendidikan Kita

Masyarakat Desa Qaryah Thayyibah yang progresif dan visioner melihat usaha memperoleh pengetahuan itu menuntut dirinya untuk berperan sebagai subjek, pencipta, pencipta kembali dan penemu ulang, rasa keingintahuan yang ada atau menciptakan pengetahuan yang baru. Keingintahuan bukan sekedar mentransfer sesuatu yang sudah ada secara biro-kratis, guru sekedar menjual dan mendis-tribusikan pengetahuan yang ada secara paket, sementara siswa membeli dan mengkonsumsi-kannya.

Dalam proses pemintaran ini, mengambil peran sebagai subjek bukan sesuatu yang mudah dalam kondisi sistem pendidikan kita yang sangat birokratis, sentralistik. Semisal guru, dapat digambarkan sebagai struktur kekuasaan dimana Kepala Sekolah tunduk pada pemerintah, pemilik modal (penerbit), kepala dinas di kecamatan tunduk pada atasannya sampai kepada m endiknas, mendiknas tunduk pada kepentingan politik dan seterusnya. Walhasil seorang guru dalam proses pemintaran harus tunduk pada Juklak- Juknis (Petunjuk Pelaksanaan-Petunjuk Tehnis), mengejar target, sekedar karir. Walhasil guru hanya sekedar opera-tor dari "atas" karena materi pengajaran telah diatur secara rinci, kurikulum dan buku-buku telah dipaket sehingga kemerdekaan guru untuk mengungkap kebenaran dan pendapatnya dipasung. Kesalahan ini tidak begitu saja ditimpakan pada guru, namun pertanyaan lebih jauh adalah ada apa dengan sistem pendidikan kita? Bagaimana membongkar sistem yang membelenggu? Apakah Konstitusi kita sudah dilaksanakan pemerintah untuk membiayai sekolahan sehingga anak petani desa dapat pintar menjadi insinyur pertanian?

Kejahatan dalam pendidikan kita bisa dilihat dari hal-hal yang dianggap kecil namun sesungguhnya berimplikasi besar bagi kesejahteraan warga negara khusunya warga miskin dan desa terpencil:

Akses pendidikan bagi warga desa terpencil tidak terpenuhi, menjadi kejahatan terbesar pelanggaran konstitusi ketika seorang anak kecil SMP berangkat sekolah jam 04.00 pagi karena jarak yang jauh.

Komersialisasi lembaga pendidikan, yang berdampak pada biaya pendidikan tinggi, sehingga warga miskin tidak menjangkau (uang gedung, laboratorium, seragam, biaya lain-lain yang terkadang tidak realistis).

Buku paket yang seharusnya gratis diper-jualbelikan bahkan justru dari kasus yang ada terdapat kolusi antara pengelola pendidikan dengan penerbit.

Guru dibelenggu daya kreatifitasnya akibat dari penyeragaman kurikulum dan instruksi diatasnya, akibatnya hak-hak murid hilang.

Pemerintah (departemen pendidikan dan guru negeri) hanya berorientasi mengejar karir sehingga pekerjaan mulia ini hanya sebatas melaksanakan tugas harian semata (rutunitas) sehingga keberpihakan pada out put murid menjadi lemah.

Rekruetmen tenaga pendidik masih berbau KKN, sehingga kualitas dan moralitas guru memperlemah kualitas kelulusananak didik.

Menjawab itu semua tentu saja tidak sekedar niat baik pemerintah atau lembaga-lembaga pendidikan, biarkan saja mereka menggagas sendiri, toh hingga sekarang implementasi gagasan yang dirancang intelektual yang hebat-hebat akan sulit terealisir, karena tidak memahami masyarakat desa, tetapi kita orang desa harus segera menggagasnya. Dari desa kita guncang model pendidikan yang terbaik untuk anak-anak desa.

Sekolah Berbasis Komunitas

Harapan masyarakat desa qaryah thayyibah yang kondisinya masih perlu peningkatan kesejahteraaan tentunya kedepan harus memiliki cita-cita agar sekolah dapat terjangkau, dekat, murah dan memenuhi kebutuhan lingkungannya. Harapan iu tentunya tidak begitu saja digan-tungkan kepada lembaga-lembaga formal pendidikan, namun harus mulai digagas oleh warga, konsep dasarnya adalah sekolah berbasis komunitas/desa (Community Base Schooling) dimana wargalah yang menentukan baik buruknya anak-anak desa kedepan. Pendidikan dikelola bersama dalam sebuah lembaga pendidikan, dimana antara warga desa, pemerintah desa, orang tua murid, guru, anak didik, secara rutin dan terus-menerus mengevaluasi, merencana-kan dan mengawasi secara bersam-sama. Inilah yang disebut dengan pendidikan alternatif yang digagas warga, dikelola bersama, dibesarkan bersama dengan tujuan meningkatkan mar-tabat warga desa itu sendiri.

Sekolahan alternatif ini mendasar-kan proses pemintaranya pada analisis kehi-dupan nyata, adanya kesatuan mengajar dan belajar, mengajar disertai belajar, guru dan siswa adalah tim dan masyarakat desa menjalin persahabatan dengan lembaga sekolahan ini. Kesatuan inilah yang akan membongkar citra bahwa sekolah itu dingin tak berjiwa, birokratis, penyeragaman, asing bagi kaum miskin di pedesaan, dan mem-bosankan bagi guru dan siswa. Tidak ada dikotomi miskin kaya, guru killer (menakutkan), murid nakal, mata pelajaran momok dan sebagainya. Konsep utamanya adalah kegembiraan untuk semua.

Kondisi Warga Desa Qaryah Thayyibah

Sebagaimana makna harfiahnya Qaryah Thayyibah adalah "desa yang indah", tentunya cita-cita paling mendasar dari sebuah proses menuju desa yang didalamnya tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokalnya namun tetap berpandangan global, pendidikan anak-anak desa adalah kunci dari masa depan desa tersebut. Pendidikanlah yang menghantar-kan kemajuan, kesejahteraan dan keindahan desa. Desa yang indah terlukiskan manakala anak-anak desa berpengetahuan, dapat mengelola sumber dayanya sendiri, kelak kemudian hari anak-anak tersebut adalah aset desa yang dapat memimpin desanya dengan pengetahuan yang benar, bermoral, mencintai desa dan lingkungannya.

Namun kondisi ideal ini masih jauh dari harapan, beberapa desa dilingkup Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah masih belum dapat mengakses pendidikan. Jarak tempuh antara rumah dan lembaga sekolahnya jauh, sebagai gambaran Dusun Nglelo (Paguyuban Petani Candi Laras Merbabu), Batur, Kec. Getasan, seorang siswa harus berangkat jam 04.00 pagi dengan jarak + 10 Km, bisa dibayangkan kondisi fisik dan psikhisnya ketika harus menerima pelajaran, jika pun harus ditempuh dengan kendaraan (ojek) orang tua siswa harus mengeluarkan ongkos Rp. 15.000,- pergi pulang, sementara kondisi ekonomi petani desa tidak memungkinkan hanya sekedar ongkos transportasi, belum lagi SPP yang tinggi, uang jajan (tentunya jarak tempuh yang jauh menguras energi siswa), uang buku, ongkos seragam sekian stel, biaya ekstrakulikuler, uang gedung dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi di Glinggang (Paguyuban Petani Otek Makmur, Boyolali), Paguyuban Petani Gunung Payung (Temanggung), Cuntel (Paguyuban Petani Jabal Sarif Merbabu, Kab. Semarang), Selo (Paguyuban Petani Merapi dan Setyo Tunggal, Boyolali), Paguyuban Petani Pangeran Samudro Manunggal (Kedungombo, Sragen), Paguyban Petani Candi Laras Merbabu, Kab. Semarang) dan masih banyak lagi orang desa yang terpencil, tinggal di puncak gunung, terabaikan sehingga akses pendidikan anak-anak mereka menjadi ketinggalan.

Kondisi umum tersebut diatas juga terjadi di hampir semua desa, warga kebanyakan adalah petani miskin, dimana untuk urusan sekolah menjadi nomor dua, ada ujar-ujar yang sering kita dengar, sekolah duwur-duwur, metu-metu nganggur, hal ini sebenarnya salah satu bentuk kekecewaan warga terhadap keluaran siswa yang tidak sebanding dengan biaya yang ditimpakan pada orang tua siswa.

Studi kasus di SMP Alternatif Otek Makmur Glinggang, Kemusu, Kab. Boyolali dapat dibuktikan. Sebelum berdiri ditengah tengah warga hanya ada kurang lebih 10 anak tiap tahun meneruskan ke SMP yang jaraknya 7,5 km, namun setelah warga mendirikan SLTP Alternatif tahun 2004 yang mendaftarkan untuk angkatan pertama 45 siswa, fantastis! Gagasan Paguyuban Petani Otek Makmur bisa mengan-tisipasi 800 anak yang terancam drop out (tidak sekolah) hingga tahun 2009.

Pendidikan Alternatif?

Kejengahan (kejengkelan) terhadap sitem pendidikan yang tidak berpihak pada kaum miskin terutama warga desa menjadi inspirasi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah untuk segera menggagas pendidikan yang dapat menunjang visi gerakannya yaitu "Mewujudkan masyarakat tani yang tangguh yang mampu mengelola dan mengontrol segala sumber daya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki dan perempuan".

Visi jauh kedepan inilah yang kemudian dirumuskan dalam Lembaga Pemintaran Petani (LPP) Qaryah Thayyibah dalam rangka mewujudkan masyarakat tani yang tangguh. Konsep pendidikan alternatif inilah yang diharapkan kedepan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani untuk mempercepat proses terciptanya "Desa yang Indah".

Dikatakan alternatif karena selama ini sistem pendidikan kita masih membelenggu, dingin, birokratis, dan tidak berpihak (terutama kaum miskin dan warga desa). Maka sebagai konsep tanding dari sistem tersebut SPPQT menawarkan prinsip pendidikan alternatif sebagai berikut:

Prinsip utama, pendidikan dilandasi semangat membebaskan, dan semangat perubahan kearah yang lebih baik. Membebaskan berarti keluar dari belenggu legal formalistik yang selama ini menjadikan pendidikan tidak kritis,dan tidak kreatif, sedangkan semangat perubahan lebih diartikan pada kesatuan belajar dan mengajar, siapa yang lebih tahu mengajari yang belum paham, hal ini kemudian akan didapat seorang guru ketika mengajar sebenarnya dia sedang belajar, terkadang belajar apa yang tidak diketahuinya dari murid.

Prinsip kedua, keberpihakan, adalah ideologi pendidikan itu sendiri, dimana akses keluarga miskin berhak atas pendidikan dan memperoleh pengeta-huan.

Prinsip ketiga, metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembi-raan murid dan guru dalam proses belajar mengajar, kegembiraan ini akan muncul apabila ruang sekat antara guru-murid tidak dibatasi, keduanya adalah tim, berproses secara partisipatif, guru sekedar fasilitator dalam meramu kurikulum.

Prinsip keempat, Mengutamakan prinsip partisipatif antara pengelola sekolah, guru, siswa,wali murid, masyara-kat dan lingkungannya dalam merancang bangun sistem pendidikan yang sesuai kebutuhan, hal ini akan membuang jauh citra sekolah yang dingin dan tidak berjiwa yang selalu dirancang oleh intelektual kota yang tidak membumi (tidak memahami masyarakat).

Prinsip-prinsip inilah yang kemudian diturunkan dalam sebuah konsep pendidikan alternatif, bagaimana guru, pengelola, siswa, sarana penunjang dan lingkungannya saling berinteraksi:

GURU

1. Sebagai syarat utama pendidikan alternatif guru dan pengelola harus memiliki idealisme dan komitmen tinggi untuk selalu berpihak pada kemiskinan dan lingkungan.

2. Guru memahami metodologi pendidikan, punya kerangka berfikir yang terbuka.

3. Menguasai materi yang akan diajarkan, namun tetap menempatkan siswa sebagai tim yang secara bersama-sama berproses dalam belajar

4. Memahami analisis sosial, sehingga kebutuhan siswa dan masyarakat dilingkungan desanya terpenuhi

5. Memposisikan diri mengajar disertai belajar. Sehingga secara terus menerus memperbaiki kekurangan-kekurangan.

SISWA

1. Pemahaman bukan hafalan, mengetahui tidak sama dengan menelan pengetahuan mentah-mentah

2. Kontekstual, sesuai kebutuhan, pemanfaatan lingkungan sebagai media belajar aktif, dialami sendiri dalam kesehariannya

3. Muncul semangat kebersamaan diantara siswa, bagi yang nakal secara demokratis antar siswa sendiri yang memberikan hukuman, bukan guru. Bagi yang berprestasi secara bersama-sama disepa-kati diberi penghargaan, siapa yang tahu mengajari yang belum tahu, saling mengevaluasi antar siswa.

4. Kecerdasan siswa tidak hanya diukur dari nilai (kecerdasan intelektual), tetapi sejauh mana tingkat emosionalnya dan kecerdasan religinya.

5. Siswa selalu gembira sehingga akan muncul inovasi dan kretifitas karena proses belajar tidak penuh tekanan.

Sarana Penunjang

Sarana penunjang pendidikan alternatif tidaklah mengharapkan gedung yang hebat, pagar tembok tinggi, seragam mewah, namun bagaimana seorang siswa befikir global bertindak lokal. Diantara sarana yang harus ada dan diprioritaskan adalah:

1. IT (Informasi dan Tehnologi), lebih spesifik adalah internet, seorang siswa akan menjelajahi pengetahuan tidak hanya sebatas buku paket, tapi ia akan lebih banyak memahami dan mencari pengetahuannya secara terbuka dan bebas. Internet difamami sebagai perpustakaan

2. Pemanfaatan lingkungan sebagai media belajar, siswa secara langsung bersentuhan dengan pertanian, home industri, konservasi alam, air, warung desa, dsb

3. Tokoh penggerak desa, ini menjadi penting karena ialah yang menjadi fasilitator sekaligus mediator bagi lembaga sekolah, masyarakat, pemerin-tah lokal, dan orang-orang yang terkait dengan sekolah, dapat dibayangkan jika ia dapat mendorong sebuah desa muncul perdes (peaturan desa) tentang pendidikan (sebagian pajak desa diberikan untuk sekolah tersebut)

Institusi Sekolah

Institusi sekolah dikelola dengan prinsip alam dan lingkungan sebagai laboratorium raksasa, arena hidup yang nyata, plural, terus berkembang dan berubah, prinsip inilah yang menjadi pegangan agar lembaga sekolah selalu dinamis dan progresif dalam perjalananya, tidak mandeg tetapi terus menyesuaikan perkembangan masyarakat.

SLTP Alternatif merupakan lembaga pendidikan yang didirikan atas prakarsa masyarakat Kalibening, kemudian didukung beberapa orang luar yang faham realita baik sistem pendidikan formal maupun keresahan lain.

Dilanjutkan dengan diadakannya musyawarah warga untuk membahas gagasan tersebut. Dalam pertemuan itu dibicarakan antara lain :
Adanya keresahan biaya pendidikan yang dirasa berat.
Diberlakukannya sistem antara pendidikan dan pengajaran yang sebagian tidak relevan. Seakan sekedar mengejar target untuk mendapatkan sertifikat akhir jenjang.

Pada bagian lain para orang tua tentu tidak tega jika harus membiarkan anaknya untuk tidak melanjutkan sekolah mereka. Keresahan ini semakin lama semakin menguat karena para orang tua di Kalibening berkeyakinan bahwa membiarkan anaknya tidak melanjutkan sekolah sama halnya memangkas masa depan mereka. Secara keagamaan ini berarti menyia-yiakan amanat Tuhan, dan secara kemanusiaan berarti merampas hak anak untuk pandai dan hidup secara lebih baik.
Maka SLTP alternatif ini dirintis dengan harapan mampu menjawab persoalan sebagaimana tersebut diatas dengan selamat dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Kalibening khususnya dan masyarakat pendidikan pada umumnya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya juga membuat posting tentang sekolah ini. Sungguh menarik!