Sabtu, 26 April 2008

“ Pameran, Produk, Promosi “ .... Sukses....?



Oleh : Tripleajo

Ketika kita mendengar kata "Pameran" tentu pikiran kita akan membayangkan sesuatu tempat dimana produk-produk baik berupa barang atau jasa yang ditampilkan untuk di lihat oleh khalayak tertentu atau masyarakat umum. Didalam pemasaran Pameran adalah salah satu cara untuk mempromosikan produk barang/ jasa yang dapat dijual. Sudah tentu tujuan utamanya adalah agar orang mengenal lebih jauh tentang produk yang di hasilkan. Istilah tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta, tak cinta mungkin tak ada rasa ingin memiliki.

Produk (barang atau jasa)yang di pamerkan sudah pasti merupakan barang atau jasa yang terbaik, hal ini merupakan suatu keharusan. Menampilkan suatu produk yang terbaik tentu diperlukan perlakuan yang khusus bahkan mungkin perlu disempurnakan dengan di poles.., jika pada manusia mungkin istilahnya di make Up. Untuk melakukan semua ini dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Keberhasilan atau kesuksesan suatu pameran tidak terlepas dari peran serta antara stake holder (Event organizer, Peserta pameran, Produk). Mustahil pameran akan sukses bila tidak adanya kerjasama antara stake holder. Bentuk kerja sama antara stakeholder ini tidak dapat dilakukan begitu saja dalam arti saling jalan sendiri-sendiri atau mungkin yang bekerja hanya EO saja sedangkan yang lainnya tidak berjalan. Paling tidak stakeholder harus tahu terlebih dahulu tujuan yang nyata dari pameran. Kemudian apa yang harus atau yang mungkin dapat dicapai dari pameran dan yang juga penting adalah siapa-siapa saja yang di harapkan untuk dijadikan target (pengunjungnya). Untuk membuat suatu kesepahaman ini sudah barang tentu memerlukan waktu yang cukup lama.

Event Organizer (EO) atau panitia penyelenggara yang diharapkan bekerja lebih dahulu sebelum stake holder yang lain. Mengapa hal ini terjadi karena EO inilah yang mempunyai gagasan atau ide untuk penyelengaraan ini tapi tidak menutup kemungkinan juga idenya dari pihak lain. Mengapa EO harus bekerja terlebih dahulu, karena sebelum melibatkan pihak yang lain dalam arti untuk menjaring peserta yang akan ikut serta, pihak EO harus melakukan publikasi yang ditujukan kepada pihak-pihak yang akan ikut pameran. Setelah mendapatkan peserta yang akan ikut partisipasi maka dibutuhkan koordinasi antara EO dan peserta harus dilakukan.Setelah itu pihak EO juga harus melakukan persiapan tempat penyelenggaran yang reperesentatif untuk event ini. Selanjutnya pihak EO juga diharapkan melakukan Publikasi-publikasi untuk mempromosikan event ini yang ditujukan kepada pihak-pihak yang akan diharapkan hadir (pengunjung pameran).

Pihak partisipan atau peserta yang telah bersedia ikut dengan sendiri akan menyiapkan produk-produk baik berupa barang atau jasa yang terbaik untuk di tampilkan. Mustahil jika para peserta akan menampilkan produknya asal-asalan. Jika hal ini dilakukan maka sama saja peserta ini melakukan "Bunuh Diri" secara tidak langsung membuat citra yang tidak baik bagi institusinya, dan tujuan promosi menjadi kontraproduktif. Dalam hal ini pihak peserta pasti melakukan kalkulasi-kalkulasi apakah mengikuti pameran ini dapat membangun image (promosi) yang baik atau malah sebaliknya.

Mungkin secara singkat untuk semua terjalin dengan baik antara stakeholder dan terjadi kesinergian ini di butuhkan waktu yang cukup lama mungkin butuh waktu dalam hitungan bulan.Sangat mustahil apabila kegiatan atau event pameran dapat dilakukan hanya membutuhkan waktu dalam hitungan hari atau minggu, jika hal ini dilakukan tujuan promosi yang diharapkan akan menjadi kontraproduktif.

Catatan kecil "Pameran Kursus dan Pelatihan di PCC"

Pontianak, April 2008

Jumat, 21 Maret 2008

Customer value

oleh : Handito Hadi Joewono

Taksi Blue Bird ada di mana-mana. Di tempat mangkal taksi di banyak hotel dan pusat perbelanjaan, di jalan besar, jalan kecil, sampai di ujung gang rumah kita. Memanggil taksi Blue Bird 'hanya' sejauh mengangkat gagang telepon. Mirip slogan salah satu produk minuman: "kapan saja, di mana saja". Kemudahan seperti itu memberi bukti, yang bukan sekadar janji, dari empat komitmen nilai tambah taksi Blue Bird.

Blue Bird memberikan komitmen empat nilai tambah [customer value] untuk membedakan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan taksi lain. Keempat komitmen nilai tambah itu adalah aman, nyaman, mudah, dan pelayanan personal. Tentu saja untuk merealisir komitmen yang tampaknya sederhana tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan.

Faktor pengelolaan SDM khususnya pengemudi taksi yang belasan ribu, mobil yang kondisinya berbeda-beda, lokasi yang relatif berjauhan dan taksi yang terus bergerak merupakan faktor yang menambah rumitnya pengelolaan bisnis dan layanan pada bisnis taksi.

Bahkan, untuk sekadar memetakan industri ini pun juga tidak mudah. Tim Arrbey yang sedang menyiapkan studi kasus taksi untuk buku kami berikutnya tentang layanan berkualitas juga menghadapi realita 'ruwetnya' pengelolaan bisnis ini.

Dari sisi pemasaran dan pelayanan konsumen, pengelolaan bisnis taksi dihadapkan pada beragamnya jenis konsumen. Ada konsumen yang ingin naik taksi dengan nyaman, ada yang asal sampai, ada yang cari gengsi dengan naik taksi, dan ada juga yang memanfaatkan naik taksi untuk kepentingan tidak baik termasuk mencari mangsa perampokan, penculikan, dan pemerkosaan.

Setidaknya adan tiga segmen pasar konsumen taksi atau kendaraan angkutan darat pada umumnya, yaitu:

1. Asal sampai

Jangan terlalu mikirin kualitas layanan di kelompok konsumen yang satu ini. Kualitas layanan merupakan kemewahan, yang kalau konsumen tidak mendapatkan juga tidak apa-apa. Bahkan, kalau sampai disediakan oleh pemberi layanan merupakan hal yang luar biasa.

Kata kunci 'layanan' di sini adalah: ngirit. Tidak heran banyak penumpang kereta api di Bogor dan Bekasi yang gembira dengan kehadiran KRL ekonomi AC. Ada juga konsumen taksi yang tidak berkeberatan naik taksi yang tidak pakai AC atau taksinya 'dekil'' karena taksinya tidak terawat dan bahkan tidak merasa was-was kalau pengemudi taksinya 'sangar'.

Pengemudi taksi yang cocok melayani kelompok konsumen ini adalah 'pembalap gagal' yang berani ngebut dan sedikit-sedikit melanggar peraturan lalu lintas agar penumpang cepat sampai daerah tujuan.

2. Sampai dengan puas

Penumpang yang naik taksi Blue Bird punya ekspektasi mendapatkan layanan standar berkualitas. Keempat customer value Blue Bird yaitu aman, nyaman, mudah, dan pelayanan personal dengan tepat memenuhi ekspektasi servis konsumen tadi.

Kalau konsumen mendapatkan keempat janji Blue Bird tersebut, tentu konsumen puas. Sebaliknya konsumen yang masih merasa ada janji yang belum sepenuhnya terpenuhi bisa berkomunikasi lebih lanjut dengan menelepon pusat layanan konsumen.

3. Sampai dengan kesan indah

Sesungguhnya Blue Bird, khususnya melalui Silver Bird, sudah mengarah ke pemberian layanan yang memungkinkan konsumen mendapat kesan indah. Penggunaan portofolio Mercedes dan mobil mewah lainnya dalam jajaran armada Silver Bird merupakan simbol upaya servis yang bermaksud memberi kesan indah. Penumpang bisa 'berbangga' menyampaikan ke sanak saudara atau rekan bisnisnya kalau barusan naik Mercy.

Demikian juga komitmen mengembalikan barang tertinggal, sehingga sampai mendapat rekor Muri juga bentuk lain dari upaya 'merekayasa positif'untuk menciptakan layanan yang bisa berkesan indah. Konsumen yang amit-amit ketinggalan handphone dan lalu mendapatkan lagi handphone-nya akan menjadi konsumen yang mau cerita ke teman dan siapa pun yang ditemui tentang kualitas layanan taksi yang baru saja digunakannya.

Keberhasilan Blue Bird mengelola berbagai keruwetan yang menjadi karakteristik bisnis taksi memang bisa diacungi jempol. Strategi membangun banyak pangkalan taksi di berbagai tempat berbeda, jumlah taksi yang banyak, pemanfaatan teknologi informasi dan manajemen pengelolaan SDM khususnya pengemudi taksi menjadi pilar-pilar kesuksesan Blue Bird.

Lalu bisakah contoh kasus baik seperti ini 'ditiru' oleh perusahaan taksi atau bahkan industri jasa yang lainnya. Tentu saja bisa, dan modal dasarnya adalah tekad dan tindakan nyata. Manajemen Blue Bird sudah membuktikan aplikasi tekad dan tindakan nyata tadi dalam pengelolaan bisnisnya, dan selanjutnya terserah Anda.

Rabu, 19 Maret 2008

Hindari 6 Pembunuh Karir Anda

Dari : Portal HR

Anda pasti baru saja memasukkan kata "karir" dalam daftar resolusi 2008 yang Anda buat sebulan yang lalu. Bagaimana sejauh ini, apakah Anda sudah mengambil langkah-langkah awal untuk mewujudkannya? Apapun yang Anda harapkan dari karir Anda tahun ini, yang pasti merujuk pada perkembangan, kemajuan dan peningkatan ke arah yang lebih baik dan menjanjikan.

Sambil terus melakukan upaya-upaya yang mendukung terpenuhinya harapan-harapan tersebut, Anda juga perlu mengenali faktor-faktor penghambatnya. Dengan mengenalinya sejak dini, akan akan terhindar dari kemungkinan kegagalan yang tidak Anda perhitungkan. Setidaknya ada 7 "dosa" yang harus Anda hindari di tempat kerja. Kalau tidak, 7 hal itu tidak hanya akan menjadi perintang melainkan bahkan juga akan membunuh karir Anda.

1. Bangga

Keberhasilan demi keberhasilan di tempat kerja membuat Anda merasa luar biasa sehingga cenderung mengecilkan fakta bahwa itu semua tak lepas dari dukungan atau pun asistensi orang-orang di sekitar Anda, dan khususnya mereka yang berada di bawah Anda. Anda pun menjadi seorang yang egosentris, dam lambat-laun --mungkin tanpa Anda sadari- mulai meremehkan dukungan orang lain. Kebanggaan pada diri yang berlebihan akan mematikan semangat tim yang hakikatnya dibangun dari bawah dan bisa mempercepat laju karir seseorang. Merasa diri adalah bagian dari kesatuan sebuah tim, akan memberi sukses yang berjangka panjang.

2. Iri Hati

Penghargaan kepada individu diberikan oleh perusahaan berdasarkan prestasi yang dicapai oleh yang bersangkutan. Tapi, Anda selalu mempertanyakan, "Apa dia pantas mendapatkannya?" dan lalu merasa, "Saya lebih pantas." Perasaan seperti itu bisa merusak dan menjauhkan Anda dari kemampuan untuk fokus pada tugas dan tanggung jawab yang ada di tangan Anda sendiri. Menjadi orang yang selalu mencemburui orang lain di tempat kerja bisa menyabotase harga diri Anda. Dan, harga diri adalah karakteristik penting dari setiap pekerja atau pun eksekutif yang sukses. Daripada iri hati, lebih baik saling bergandeng tangan bahu-membahu, dan itu bisa memotivasi kerja menuju sukses.

3. Marah

Kemarahan perlu dikontrol. Marah tidak memberi keuntungan apapun di tempat kerja. Tak seorang pun akan terbantu kalau Anda marah. Sebaliknya, marah hanya akan merusak reputasi dan citra Anda di mata teman, atasan maupun bawahan. Boleh saja Anda tidak setuju dengan orang lain, dan berusaha untuk melindungi kepentingan Anda akan sebuah pekerjaan atau proyek yang sedang Anda tangani. Dan bagus kalau Anda merasa passionate pada tugas Anda. Namun pelajarilah bagaimana menyalurkan emosi-emosi itu dalam aksi-aksi yang akan menguntungkan Anda di mata orang lain, khususnya tentu di mata atasan. Seorang yang mudah marah jarang sekali mendapatkan promosi kenaikan jabatan karena dinilai akan sulit menginspirasi atau memotivasi orang lain.

4. Berpikir pendek

Selalu ingin "lebih" dan "segera" adalah hasrat yang mendasari setiap usaha untuk mencapai tujuan-tujuan karir. Namun, menyalurkan hasrat itu secara ekstrim, misalnya dengan "menghalalkan segala cara" akan merugikan diri sendiri. Anda jadi kehilangan arah dan kehidupan Anda menjadi tidak seimbang. Jalan menuju sukses menghendaki pendekatan jangka panjang dalam semua aspek pekerjaan. Fokus pada kecepatan dan capaian-capaian jangka pendek hanya baik untuk sesaat, dan ketika dihadapkan pada hal-hal di tahap berikutnya, Anda tidak siap.

5. Mudah puas

Pada sisi lain, mudah puas dan kemalasan tidak memiliki tempat di dunia kerja. Setelah berhasil mencapai satu tahap lalu berhenti dan berharap capaian itu bisa mengantarkan ke sukses berikutnya dalam perjalanan karir adalah mustahil. Lebih-lebih dalam iklim kompetitif dewasa ini, hanya mereka yang terus berproses dan menindaklanjuti pertumbuhannya, dan senantiasai memperbarui kontribusinya yang akan sukses.

6. Ketidakseimbangan

Sejumlah orang bergerak naik terlalu cepat dalam jenjang jabatan perusahaan tapi kemudian berakhir dengan kegagalan. Segala yang berlebihan dan tidak wajar tidaklah bagus --khususnya jika Anda tidak siap dengan tantangannya. Penting untuk memastikan bahwa Anda tidak hanya siap secara profesional untuk mengambil tantangan yang lebih besar, tapi juga kehidupan personal juga mesti disiapkan untuk tuntutan-tuntutan baru tersebut. Mencapai sukses karir sebaiknya tidak mengesampingkan keseimbangan hidup, dan hasrat profesional yang "salah tempat" bisa menciptakan masalah di kemudian hari.

Minggu, 02 Maret 2008

Think Tanks

Oleh : Azyumardi Azra

Mungkin tidak banyak kalangan publik Indonesia yang tahu, bahwa salah satu think tank Indonesia, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta termasuk 30 think tanks paling top secara global. Dalam laporan 'The Global "Go-to Think Tanks": The Leading Public Policy Research Organizations in the World' yang dirilis James G. McGann akhir 2007 lalu dan diulas Sam Folk dalam artikel Jakarta-based Think Tank CSIS Receives International Accolade (The Jakarta Post, 29 Januari 2008), CSIS menjadi salah satu dari empat think tanks asal Asia dan satu-satunya dari Asia Tenggara yang termasuk barisan think thanks paling unggul di dunia.

Pemilihan lembaga think tanks tersebut berdasarkan nominasi yang diajukan kelompok lembaga sejenis yang menghasilkan 228 lembaga terpilih di antara 5.080 think tanks di seluruh dunia. Terbanyak terdapat di Amerika Utara (1924 lembaga atau 37,87 persen), Eropa Barat (1198/23,58 persen), Asia (601/11,83 persen), Eropa Timur 483/9,51 persen), Amerika Latin (408/8,03 persen), Afrika (274/5,39 persen), dan Timur Tengah (192/3,78 persen). Daftar itu juga mencatat 19 lembaga think tanks Indonesia.

Apakah lembaga think tanks tersebut? Menurut McGann, think tanks adalah lembaga riset, analisis, dan engagement tentang kebijakan publik. Lembaga semacam ini menghasilkan riset, analisis, dan saran yang berorientasi pada kebijakan publik tentang berbagai masalah domestik dan internasional. Dengan begitu, pengambil kebijakan dan publik umumnya dapat mengambil keputusan yang tepat tentang berbagai isu kebijakan publik.

Lembaga think tanks dapat merupakan institusi yang independen atau berafiliasi kepada pemerintah dengan struktur kelembagaan permanen, bukan merupakan komisi ad hoc. Lembaga ini juga sering menjadi jembatan antara akademisi dan pengambil keputusan; melayani kepentingan publik sebagai suara independen yang menerjemahkan hasil riset ke dalam bahasa yang bisa dipahami dan tepercaya.

Berdiri sejak 1971, tidak terlalu mengejutkan jika CSIS Jakarta menjadi think tank Indonesia yang terkemuka secara global. Lembaga ini pernah sangat berpengaruh pada Orde Baru, setidaknya sampai menjelang akhir dasawarsa 1980-an. Kini, meski pengaruhnya tidak lagi sekuat dulu, CSIS tetap merupakan lembaga penelitian paling terkemuka di Indonesia.

Memang tidak banyak lembaga think tank yang eksis pada masa Orde Baru, karena kuatnya pembatasan yang diberlakukan rezim pemerintahan dan militer. Tetapi, dalam masa pasca-Soeharto terlihat pertumbuhan signifikan lembaga semacam ini, termasuk yang didirikan mantan pejabat, sipil maupun militer dan politisi. Hal ini karena politik Indonesia menjadi lebih demokratis; pemerintah bukan hanya tidak mampu lagi mengontrol arus informasi, tetapi juga tidak dapat membendung kemunculan berbagai lembaga, termasuk lembaga think tank.

Banyak di antara lembaga yang didirikan pasca-Soeharto memiliki pretensi untuk mempengaruhi pendapat dan pertimbangan publik. Tetapi, kebanyakan mereka gagal melakukan riset dan kajian serius dan mendalam untuk menjadi pertimbangan pengambilan keputusan publik. Akhirnya, menjadi sekadar alat untuk pencapaian target politik tertentu.

Salah satu penyebab kegagalan adalah para pimpinan dan penelitinya bekerja paruh waktu. Sebagian besar mereka resminya bekerja pada instansi dan lembaga lain; universitas, lembaga penelitian pemerintah, birokrasi pemerintahan, atau lembaga nonpemerintah. Karenanya, mereka tidak bisa memberikan perhatian penuh pada lembaga think tank yang juga mereka tangani, sehingga hanya menghasilkan kajian dan riset yang tidak mendalam, dan karena itu, tidak memiliki bobot meyakinkan sebagai pertimbangan publik.

Sebuah think tank hanya bisa berhasil, jika para pengelola dan peneliti bekerja sepenuh waktu; dan mengabdikan seluruh perhatian dan kemampuan penelitian dan pengkajiannya pada lembaganya. Dengan begitu, mereka dapat menghasilkan kajian dan riset yang serius, mendalam, dan komprehensif tentang berbagai hal strategis.

Agar sebuah think tank dapat memiliki tenaga pengelola dan peneliti full-time dengan kualifikasi kompetitif, maka pendanaan menjadi hal sangat vital. Untuk itu, perlu dana endowment (hibah/wakaf) yang memadai, tidak hanya untuk membuat lembaga bisa berdiri dan maju, tapi juga untuk membiayai para pengelola dan penelitinya secara layak, dan juga agar dapat menjalankan program penelitian, kajian, dan penerbitannya secara baik. Jika hal ini bisa dilakukan, maka Indonesia dapat memiliki lebih banyak think tank yang hebat dan top.

Rabu, 27 Februari 2008

ORANG PINTAR SULIT DAPAT KERJA

ANDRIAS HAREFA adalah seorang trainer dan penulis 30 buku laris

Orang pintar akan sulit mendapatkan pekerjaan. Itu kata guru bisnis saya Januar Darmawan. Dan ia bersungguh-sungguh. Ia tidak sedang bergurau. Ia membuat saya berpikir keras. Bagaimana mungkin orang yang pintar justru sulit mendapatkan pekerjaan? Bukankah perusahaan-perusahaan terkemuka selalu membuka lowongan bagi orang-orang pintar tersebut?

Sudah amat jelas bahwa "orang pintar" yang dimaksudkan oleh guru bisnis saya itu tidak mengarah kepada kaum paranormal, apalagi dukun dan sebangsanya. Yang dimaksud adalah kaum terpelajar-cerdas dengan keahlian-keahlian khusus. Mereka adalah alumnus dari sekolah-sekolah terbaik di Indonesia atau di manca negara dengan gelar formal strata-2 (master) dan strata-3 (doktoral). Mereka menekuni bidang-bidang tertentu yang sangat terspesialisasi. Sebagian juga memperoleh spesialisasinya dengan mengambil program-program sertifikasi di bidang tertentu, entah yang berkaitan dengan teknologi informasi, finansial, neurosains, pengembangan sistem, penataan budaya organisasi, dan sebagainya. Kehadiran mereka dalam jumlah yang terus meningkat di Tanah Air, menimbulkan konsekuensi tertentu.

Umumnya, kaum terpelajar-cerdas ini sangat diperlukan oleh perusahaan untuk mengerjakan hal-hal yang spesifik. Misalnya, memperbaiki sistem informasi atau sistem administrasi, membantu standarisasi proses tertentu, membantu meredefinisi budaya organisasi, mengajarkan proses pengelolaan keuangan untuk mencapai kebebasan finansial, memberikan terapi untuk menata sikap dan perilaku buruk, dan sebagainya. Namun, mereka ini sebenarnya hanya diperlukan untuk periode waktu tertentu saja, umumnya dalam hitungan bulan. Setelah periode tersebut, keahlian mereka yang spesifik itu tidak dibutuhkan lagi.

Pada titik inilah fenomena munculnya para konsultan jenis baru di Indonesia bisa dijelaskan. Orang-orang terpelajar-cerdas ini tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan tetap (full-time job) dalam sebuah perusahaan karena dua alasan, yakni: pertama, perusahaan tidak mampu membayar sesuai dengan kemauan mereka, karena perusahaan memang tidak membutuhkan mereka dalam rentang waktu yang panjang; kedua, mereka sendiri sulit memperoleh kepuasan profesional kalau hanya berkiprah di dalam satu perusahaan saja, karena mereka akan merasa terkurung dan kurang dihargai sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, orang-orang terpelajar-cerdas ini lebih baik mendirikan usaha sendiri, menjadi konsultan yang melayani berbagai perusahaan saja. Ini solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Sebab dari sisi perusahaan, menggunakan jasa para konsultan ahli ini secara hitungan jangka panjang biayanya menjadi relatif murah. Jauh lebih murah dibanding mereka harus mempekerjakan tenaga ahli secara sepenuh waktu sebagai karyawan tetap bergaji tinggi. Ini menjadi bagian dari proses mengurangi biaya tetap dan meningkatkan laba perusahaan. Perusahaan juga tidak perlu memikirkan apakah konsultan ahli ini memiliki kultur dan nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan atau tidak, sebab yang dibeli oleh perusahaan adalah keahliannya. Keahliannya itu yang ingin diambil oleh sebagian karyawan perusahaan yang terkait dengan bidang tugas tertentu, agar perusahaan bisa berjalan sesuai dengan harapan pemilik dan manajemen puncak perusahaan.

Pada sisi lain, kaum terpelajar-cerdas yang dikontrak dalam jangka pendek ini dapat melayani klien yang lebih luas, sehingga baik secara finansial maupun secara kepuasan profesional, semuanya lebih besar. Mereka bisa memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat karena tidak terbelenggu oleh satu organisasi tertentu.

Begitulah salah satu kecenderungan yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Kecenderungan ini sejalan dengan sejarah tenaga kerja di Eropa maupun di Amerika. Sebab pada tahun 2000 saja, jumlah tenaga kerja yang bekerja secara kontraktual di Eropa tercatat lebih dari 50% tenaga kerja, dan di Amerika lebih dari 43% tenaga kerja. Mereka ini adalah tenaga kerja dengan spesialisasi keahlian yang spesifik dan karenanya tidak mampu dipekerjakan oleh perusahaan formal yang selalu mencari cara untuk mengurangi biaya dan memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, mereka mendirikan usaha konsultansi sendiri dan melayani klien yang beraneka ragam.

Jadi kecenderungan ini menunjang usaha-usaha perusahaan untuk reducing cost and maximizing profit<. Ini tidak mungkin bisa dihalang-halangi. Akan makin banyak orang terpelajar-cerdas yang sulit mencari pekerjaan tetap dan harus mendirikan perusahaannya sendiri.

Apakah semua orang pintar akan mendirikan usaha sendiri? Tidak juga. Sebagian lagi memilih untuk masuk ke pasar dunia. Mereka tidak lagi melihat Indonesia sebagai sebuah "pembatas", karena bagaimana pun teknologi informasi telah membuat dunia menjadi borderless, tanpa batas yang tegas. Sejumlah pilot Indonesia memilih bekerja di perusahaan penerbangan Thailand. Sejumlah insinyur hebat memilih Malaysia sebagai tempat berkarya. Dan sejumlah dosen yang mumpuni, mengajar di universitas-universitas terkemuka sekitar Asia Tenggara dan Australia.

Lalu, apa yang "tersisa" di perusahaan-perusahaan saat ini? Apakah tidak ada karyawan terpelajar-cerdas yang masih menjadi orang gajian?

Tampaknya masih ada dua kelompok besar yang bertahan menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan kita. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata saja. Meski pun mereka lulus dengan indek prestasi komulatif di atas 2,75, kecerdasan mereka tidak nampak dalam dunia kerja. Mereka hanya senang disuruh dan diperintah. Mereka tidak menunjukkan proaktivitas yang memadai untuk memperkembangkan diri lewat proses belajar berkelanjutan dari situasi-situasi kehidupan kerja sesehari. Inilah kelompok karyawan mayoritas yang jumlah populasinya mungkin 80% dari total karyawan.

Kelompok kedua adalah sarjana-sarjana cerdas-berbakat yang hanya menggunakan sebagian saja dari kecerdasannya dalam bekerja. Pada satu sisi mereka tidak memiliki pemimpin visioner yang mau mempercayai dan memberdayakan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih menantang, seperti merintis unit bisnis yang diperkirakan cocok dengan potensinya (dengan risiko gagalnya, tentu). Dan pada sisi lain mereka sendiri tidak menumbuhkan keberanian yang cukup untuk keluar dari zona kenyamanannya, sehingga bersedia menerima imbalan finansial yang lebih kecil asal "pasti". Mereka mengorbankan kecerdasan dan bakat mereka untuk kenyamanan semu yang memabukkan.

Benarkah demikian? Bagaimana pendapat Anda?

Sabtu, 23 Februari 2008

Hak-hak Anak

Saat ini baik di Indonesia maupun di negara-negara lain sering kita lihat, dengar dan baca dari media elektronik dan media cetak anak-anak yang dianiaya, ditelantarkan bahkan dibunuh hak-haknya oleh orangtuanya sendiri maupun oleh kerasnya kehidupan. Hak asasi mereka seakan-akan tidak ada lagi dan tercabut begitu saja oleh orang-orang yang kurang bertanggungjawab.

Bukan orang dewasa saja yang mempunyai hak, anak-anakpun mempunyai hak. Hak-hak untuk anak-anak ini diakui dalam Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1989. Menurut konvensi tersebut, semua anak, tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, asal-usul keturunan maupun bahasa memiliki 4 hak dasar yaitu :

  • Hak Atas Kelangsungan Hidup
    Termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat kehidupan yang layak, dan pelayanan kesehatan. Artinya anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan perwatan kesehatan yang baik bila ia jatuh sakit.

  • Hak Untuk Berkembang
    Termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi seni dan budaya, juga hak asasi untuk anak-anak cacat, dimana mereka berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan khusus.

  • Hak Partisipasi
    Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi, seharusnya orang-orang dewasa khususnya orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak karena bisa jadi pemaksaan kehendak dapat mengakibatkan beban psikologis terhadap diri anak.

  • Hak Perlindungan
    Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana maupun dalam hal lainnya. Contoh eksploitasi yang paling sering kita lihat adalah mempekerjakan anak-anak di bawah umur.

Untuk itu ada baiknya para orangtua, lembaga-lembaga pendidikan maupun lembaga lain yang terkait dengan anak mengevaluasi kembali, apakah semua hak-hak asasi anak telah dipenuhi / terpenuhi.

Senin, 21 Januari 2008

Para Tutor KF (Keaksaraan Fungsional).

Foto bersama para Tutor di Teluk Melano Kab. Kayong Utara. Penuh
antusias dan semangat yang tinggi setelah mengikuti penjelasan singkat
tentang pelaksanaan program KF ( Keaksaraan Fungsional). Para tutor
optimis dapat menjalankan tugasnya untuk mengentaskan Buta aksara yang
ada di Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara. Semoga aja apa
yang diharapkan dan tujuan yang di inginkan dapat tercapai, Amin...

Kamis, 17 Januari 2008

Keaksaraan Fungsional

Bogor dengan jumlah penduduk 4 juta yang tersebar di 40 kecamatan, menurut data BPS (2006) memiliki 149 ribu warga yang buta huruf (15 tahun keatas). Hal ini yang menyebabkan Kab. Bogor menyandang peringkat 5 terburuk dari 25 kab/kota se-Jawa Barat dalam masalah pendidikan. Sedih (hi..hi..). Tapi pemerintah Kab Bogor optimis bahwa ketertinggalan tersebut dapat dikejar. Tahun 2009 merupakan target pemerintah Kab Bogor untuk menjadi daerah yang bebas buta aksara (kita berjuang dan berdo'a untuk itu, Amin).
IPB dengan LPPM-nya telah menggulirkan proyek yang diberi nama Keaksaraan Fungsional. Periode pertama dengan kerjasama Departemen Pendidikan telah dilaksanakan. Dan dengan antusiasme dan dukungan masyarakat, menunjukkan hasil yang sukses. Hal ini menjadi sorotan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan melalui Dinas Pendidikan Kab Bogor mengajak kerjasama untuk proyek yang sama. Maka digulirkanlah Program Keaksaraan Fungsional periode kedua. Targetnya, tentu saja warga Kab Bogor (ya..iyalah, SECARA.. yang biayain DisNak Kab, and penyelenggaranya IPB lagi, he..he..), tapi khusus untuk ibu-ibu yang telah berumur yang belum bisa/lancar Calistung (baca, tulis, hitung). Kenapa namanya Keaksaraan Fungsional? Kenapa bukan Pemberantasan Buta Huruf? Selain lebih "Keren", hal ini juga disebabkan meminimalisir rasa minder calon warga belajar (WB) yang tidak ingin disebut orang yang buta huruf.
Beberapa kecamatan di Bogor akan membentuk beberapa kelompok belajar. Kelompok belajar ini akan terdiri dari WB yang domisilinya tidak jauh dari tempat belajar. Para WB akan difasilitasi oleh tutor dari mahasiswa IPB, dan untuk mengantisipasi masalah perekrutan WB dan bahasa maka direkrutlah seorang tutor lokal dari masing-masing daerah. Jadi dalam sebuah kelompok belajar terdapat 2 tutor, tutor mahasiswa dan tutor lokal. Tugasnya sama, yaitu memfasilitasi WB agar mahir dalam Calistung.
Program ini akan berlangsung selama 3 bulan dengan 114 jam belajar. WB yang berhasil mengikuti program dengan baik akan mendapatkan Sukma (Surat Keterangan Melek Aksara). Ini adalah suasana belajar di kelompok belajar yang saya fasilitasi:

Sedangkan ini adalah suasana kelompok belajar Arief (rekan saya):
Terlihat sekali, bahwa jumlah WB di kelompok belajar saya lebih banyak dibanding di kelompok belajar Arief. Kenapa?
Ini bukan gambar warga yang sedang nonton sulap atau atraksi lainnya. Ini adalah antrian warga yang ingin mendapatkan minyak tanah dengan harga yang murah. WB kelompok Arief termasuk dalam warga yang antri. Harga minyak tanah di pengecer berada di level Rp3500, sedang di tempat ini hanya Rp2600. Dan setelah saya tanya, warga mengatakan bahwa mereka belum mendapatkan bantuan kompor dan tabung gratis dari pemerintah. Ironis? Warga desa -yang rendah pendidikan dan daya beli- pun, harus menjadi korban program pemerintah yang tidak jelas. Membuat minyak tanah sebagai barang yang langka, tetapi tidak menjalankan dengan sungguh-sungguh program konversi minyak tanah ke gas. Wallahu'alam.

Pendidikan Luar Sekolah

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh faktor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergulir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama.

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternatif di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah... Semoga

Sumber : www.pendidikan.net
Penulis: Isjoni (Dekan FKIP Universitas Riau)

Rabu, 16 Januari 2008

Sang Tunanetra Yang Luar Biasa

Andrie Wongso

Hidup adalah pembelajaran tanpa henti. Setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu, jika kita telaah lebih jauh, selalu menjadi momen pembelajaran. Baik itu berupa halangan, rintangan, tantangan, atau berbagai kejadian apapun yang kita temui. Jika bisa disikapi dengan cara yang bijak, maka selalu ada sisi positif yang bisa kita ambil sebagai bagian proses belajar.

Maka, tak salah, jika orang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Namun, semua itu harus dikembalikan kepada individu yang menjalaninya. Jika tak ada proses evaluasi dan tindakan perbaikan, pembelajaran yang didapatkan pun tak kan maksimal. Hadirnya pengalaman, baru akan bernilai jika kita bisa memaknainya dengan sudut pandang dan mindset positif.

Seperti yang saya jumpai saat saya memberikan seminar di Asian Agri Medan pada tanggal 8 Januari 2008, dengan tema "If Better is Possible, Good is Not Enough". Ketika acara, saya mendapat "pelajaran" yang sangat berharga. Sebagaimana setiap kali seminar, ada banyak orang yang antusias mengikuti seminar. Kemudian, banyak pula yang lantas ingin berfoto dan meminta tanda tangan. Namun, ada satu hal yang luar biasa saat itu. Salah satu orang yang sangat antusias tersebut ternyata adalah seorang penyandang tunanetra.

Yang menjadikannya luar biasa, orang yang bernama Roswidi itu, adalah tekadnya. Meski punya keterbatasan fisik, hal tersebut tidak menjadi halangan baginya untuk berkarya. Hebatnya, dengan kekurangan itu, ia ternyata adalah sosok yang berada di balik suksesnya acara seminar. Pria yang mengaku sebagai pendengar setia acara saya, Smart Motivation di radio Smart FM setiap Senin ini, adalah event organizer acara yang khusus menangani sound system acara. Dengan keterbatasan itu, Roswidi membuktikan pada semua orang, bahwa ia tak beda dengan orang kebanyakan.

Bicaranya yang terdengar semangat, menunjukkan betapa keterbatasan yang dimilikinya, sama sekali bukan halangan untuk sukses. Bahkan, ia mengaku sudah menjalani usaha sound system itu selama lima tahunan. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi pemain keyboard di berbagai acara. Selain itu, ia ternyata juga menjadi pengusaha onderdil sepeda. Roswidi benar-benar menunjukkan kepada saya dan semua orang yang hadir saat itu, bahwa sukses memang hak siapa saja, "Success is my right!" Ia adalah contoh nyata orang yang bisa "melihat" dengan tekad dan hati, bahwa halangan dan tantangan, sebenarnya hanyalah bagian dari proses pembelajaran diri.

Jika menengok keadaan kita, hal ini tentu adalah sebuah hal yang sangat luar biasa. Semangat dan daya juang Roswidi patut dicontoh. Apalagi, bagi kita yang dikaruniai tubuh lengkap dan tak kurang suatu apa pun. Seharusnya, dari contoh kisah Roswidi ini, bisa menumbuhkan semangat dalam diri.

Sungguh, perjalanan saya kali ini ke kota Medan memberi pengalaman yang luar biasa. Apalagi, Roswidi sempat berkata, "Kita dapat melakukan apapun, meski tanpa kedua mata. Sebab, kita masih punya kaki, tangan, otak, dan pikiran yang bisa kita maksimalkan." Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung arti yang sangat luar biasa. Roswidi membuktikan, bahwa dengan tindakan nyata, ia pun bisa berkarya layaknya manusia seutuhnya.

Untuk itu, seperti komitmen saya untuk menjadikan tahun ini sebagai tahun Think and Action 2008, kisah Roswidi ini seharusnya mampu memacu kita untuk berpikir dan bertindak maksimal. Jika orang yang kurang secara fisik saja (maaf: buta) mampu, bagaimana dengan kita yang sehat?

Maka, mari kita jadikan semua cobaan dan tantangan, bukan sebagai halangan. Namun, justru jadi batu loncatan menuju kesuksesan. Dengan think and action, kita buktikan diri mampu menjemput semua impian.


Salam sukses
Luar Biasa!!!

Andrie Wongso

Jumat, 11 Januari 2008

Learning, Growing, and Learning to Grow

"I used to hang around on the streets, getting a little money by singing and performing for people. I was lazy. This place, the Learning Farm, has changed my life," says Dedi Sudhandi, a 22-year old resident at the Learning Farm. Dedi, and 29 other young men, former street kids, are learning about organic farming and building skills that will enable them to have a productive future.

Photo of the Learning Farm
Students take responsibility for tasks related to running the farm and learn new skills through hands on training.

All activities and lessons at the Learning Farm take a "learning by doing" approach. Launched by World Education in 2005 with funds from a private donor, staff and advisors have developed a curriculum that teaches core skills such as math, literacy, computers, English, and life-skills, within the day-to-day context of communal living and organic farming. The boys produce organic vegetables for their own consumption, and sell the remaining produce and products to a consumer network of individuals, stores, offices and schools. Students at the Learning Farm also make and sell handicrafts that emphasize the use of recycled and minimal environmental impact materials. Eventually, boys with sufficient experience will develop small spin-off farming enterprises of their own.

Of course, all this does not happen without dedication, guidance and no small amount of physical and mental labor. "These urban youth have started to handle unfamiliar tools such as pitchforks, machetes, and hoes to clear land, make compost, and plant beds. They regularly wake up before 6 in the morning to farm, later collectively reflecting on and evaluating what they've learned and keeping personal accounts of the process. The shift from an urban lifestyle, with a largely undefined schedule, easy money and little responsibility to others, to life in a tightly-knit community in its pioneer phase, has been difficult, but the willingness of these guys to engage in this process is encouraging and exciting," observes Jiway Tung, Director of The Learning Farm. He ought to know: he is right alongside them, day in and day out.

Photo of Dedi and Dewa
Through their experience on the Learning Farm, Dedi (right) and his friend Dewa have become optimistic about the future.

"I am learning how to save money and plan for my future," says Dedi, who has lived at the Learning Farm since January 2006. "I had no rules and when I got money I spent it immediately. Now, I appreciate the structure here. I have to get up early and work hard, but I am learning too. There is discipline here and I am realizing that discipline is important for my future. I am optimistic that what I am learning here will enable me to become a consultant in organic farming."

The majority of Indonesia's youth are caught in a cycle that is anchored by poverty, and perpetrated by a lack of education, skills and opportunity. World Education's Learning Farm is making it possible for some of Jakarta's street children to lead healthy, happy and productive lives, through environmentally conscientious and sustainable development. World Education is helping youth like Dedi learn how to cultivate the land, their minds, and their bodies.

Cambodia: Rural Communities Take Charge of Children's Education

"Authorities, communities, and teachers now work together to improve education. Together we identify out-of-school children and help them to find ways to go back to school. The support has really helped my commune and we are proud of the positive changes we made."
- Houl Seourn, chief of the Commune Council of Boeung Char
World Education and its partners serve over 60,000 children in 165 schools in 3 provinces. Scholarships have been provided to over 6,000 primary and secondary school students.

In the remote regions of Cambodia, some of the country's poorest communities have limited access to schools, teachers, or educational support. Although the right to a basic education for every child is guaranteed in the Cambodian constitution, children in remote areas have not had access to government services. There are only a few complete school buildings in these areas, and it is difficult to recruit teachers to villages with poor living and working conditions. Few families can afford to purchase educational supplies and uniforms and parents often prefer to keep children, especially girls, at home to contribute to household income. These issues particularly hurt children who are left at the margins of Cambodian society—those who are from ethnic minority groups, impoverished, affected by HIV and AIDS, or disabled.

The children of Chour Krang, a village in the northeast province of Kratie, were affected by many of these issues. Before World Education began implementing the Education Support to Children in Under-served Populations (ESCUP) Project with its local partners, children from the Steang minority group had to walk almost three miles a day through dense bush and forest to reach their school. The youngest were often kept at home because of the distance, delaying their education.

The children of Beoung Char, an island located in the Mekong River along the border of Kratie Province, faced a similar problem. Families were spread out over the 12-mile island, which lacked proper roads and infrastructure. According to Houl Seourn, chief of the Commune Council of Boeung Char, "many of the children lived too far away from the three schools on the island, and villagers were concerned about the limited education opportunities for their children."

Through ESCUP, part of the EQUIP1 partnership led by American Institutes for Research, World Education and its partners work with underserved communities to improve access to education. In Kratie Province, World Education and its partners consulted with school committees, village leaders, and parents in communities like Chour Krang and Beoung Char, to identify the different obstacles to education. With ESCUP support, community members worked together to devise solutions and take action. In Chour Krang, community members chose to build a temporary school building closer to the village. ESCUP provided the funds for materials, while community members provided labor.

Children from Chour Krang stand outside their new school building during construction.

By working together, the community is now more involved and engaged in keeping children in school. Today, more than 113 children are now attending the school and children are able to enroll at age six, instead of waiting until they can manage the long walk to school. Non Phorn, the deputy village chief of Chour Krang, noted that even though there are limited resources in the village, he is "glad that the local people made contributing labor to the new village school a priority because education is a precious thing for all the children in the village."

In Beoung Char, the community came together to construct several small schools in areas far from the government schools. However, the community could not afford to hire teachers and it was difficult to recruit trained teachers to work in their remote area. After consultation, ESCUP worked with the community to identify local community members and train them as teachers. Houl Seourn describes the benefits of training local teachers: "this has improved the education services tremendously, especially because the teachers come from our own community and understand the children and their situations well. The support from ESCUP facilitated better collaboration between the communities, schools, and the Ministry of Education, Youth and Sports (MoEYS), and strengthened the role of the community in education."

Rabu, 09 Januari 2008

Lima Jurus Pengendalian Diri

Oleh : Adi W. Gunawan

Baru-baru ini saya mendapat email dari seorang pembaca buku, sebut saja Pak Anton, yang menanyakan cara untuk mengendalikan pikiran. Pak Anton merasa selama ini bukannya ia yang mengendalikan pikirannya namun pikirannya lah yang mengendalikan dirinya. Saat ingin berpikir positif.. eh.. yang muncul malah pikiran yang negatif. Di lain kesempatan, menurut Pak Anton, ia sulit mengendalikan dirinya dari dorongan keinginan yang ia tahu tidak seharusnya ia turuti.

Misalnya Pak Anton ini baru makan. Saat ditawari kawannya makan, ia menerima tawaran itu dan ikut makan bersama kawannya. Di lain kesempatan, saat badannya lagi capek, habis bekerja seharian, ia diajak kawannya dugem. Lha, kok ya dituruti ajakan ini. Padahal Pak Anton tahu tubuhnya butuh istirahat. Dan benar, karena kurang istirahat Pak Anton jatuh sakit.

"Bagaimana ya Pak cara untuk bisa mengendalikan diri saya? Saya tahu apa yang harus saya lakukan namun ada bagian lain dari diri saya yang mendorong-dorong saya untuk melakukan hal yang tidak ingin saya lakukan. Seringkali saya merasa ada konflik dalam diri saya dan yang menang adalah bagian yang mendorong saya melakukan hal yang sebenarnya, menurut saya, tidak perlu saya lakukan. Setelah melakukannya saya merasa menyesal, bersalah, dan  jengkel pada diri saya", tanya dan keluh Pak Anton pada saya.

Pembaca, apa yang dialami Pak Anton ini sangat lumrah kita alami. Setiap hari pasti ada konflik kecil dalam diri kita. Bahkan untuk urusan bangun tidur saja kita sudah mengalami konflik diri, ada satu bagian yang berkata, "Hei... sudah pagi nih. Sudah waktunya bangun. Siap-siap ke kantor", dan bagian yang satu lagi berkata, "Nggak perlu bangun sekarang. Lima menit lagi lah. Kan tadi malam kamu tidurnya cukup larut malam. Kalo ditambah lima menit kan nggak apa-apa toh".

Anda pernah mengalami hal seperti ini?

Lima jurus yang saya jelaskan di artikel ini berguna sebagai strategi untuk mengendalikan diri dalam berbagai aspek kehidupan. Jurus ini bisa anda terapkan untuk apa saja, yang berurusan dengan pengendalian diri.

Ok, sekarang mari kita bahas masing-masing jurus. Anda bisa menggunakan setiap jurus ini, secara terpisah, berdiri sendiri saat anda mencoba mengendalikan diri, atau bisa beberapa jurus secara bersamaan.

Jurus pertama adalah mengendalikan diri dengan menggunakan prinsip kemoralan. Setiap agama pasti mengajarkan kemoralan, misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila.

Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?

Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara yang tidak wajar. Bahasa yang lebih langsung adalah kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seijin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka lho.

Jurus kedua pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.

Misalnya seseorang menghina atau menyinggung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan menguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan "bodoh" yang seharusnya tidak kita lakukan.

Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengendalikan diri.

Bagaimana jika sudah melakukan jurus satu, prinsip moral, dan jurus dua, kesadaran, ternyata kita tetap sulit mengendalikan diri?

Lakukan jurus ketiga yaitu dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar nggak tahan, mau "meledak" karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya, berikut ini:
• Apa sih untungnya saya marah?
• Apakah benar reaksi saya seperti ini?
• Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?
• Kalau saya marah dan sampai melakukan tindakan yang "bodoh" nanti reputasi saya rusak, kan saya yang rugi sendiri.

Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sebenarnya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita nggak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi, saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan menurun.

Jurus keempat pengendalian diri adalah dengan menggunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak sadari bahwa ini hanya sementara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi ini surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab. Oh ya, tahukah anda bahwa kata bertanggung jawab itu dalam bahasa Inggris adalah responsibility, yang bila kita pecah menjadi response-ability atau kemampuan memberikan respon?

Kalau sudah menggunakan kesabaran masih juga belum bisa, bagaimana?

Lakukan jurus kelima yaitu menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikirkan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.