Minggu, 02 Maret 2008

Think Tanks

Oleh : Azyumardi Azra

Mungkin tidak banyak kalangan publik Indonesia yang tahu, bahwa salah satu think tank Indonesia, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta termasuk 30 think tanks paling top secara global. Dalam laporan 'The Global "Go-to Think Tanks": The Leading Public Policy Research Organizations in the World' yang dirilis James G. McGann akhir 2007 lalu dan diulas Sam Folk dalam artikel Jakarta-based Think Tank CSIS Receives International Accolade (The Jakarta Post, 29 Januari 2008), CSIS menjadi salah satu dari empat think tanks asal Asia dan satu-satunya dari Asia Tenggara yang termasuk barisan think thanks paling unggul di dunia.

Pemilihan lembaga think tanks tersebut berdasarkan nominasi yang diajukan kelompok lembaga sejenis yang menghasilkan 228 lembaga terpilih di antara 5.080 think tanks di seluruh dunia. Terbanyak terdapat di Amerika Utara (1924 lembaga atau 37,87 persen), Eropa Barat (1198/23,58 persen), Asia (601/11,83 persen), Eropa Timur 483/9,51 persen), Amerika Latin (408/8,03 persen), Afrika (274/5,39 persen), dan Timur Tengah (192/3,78 persen). Daftar itu juga mencatat 19 lembaga think tanks Indonesia.

Apakah lembaga think tanks tersebut? Menurut McGann, think tanks adalah lembaga riset, analisis, dan engagement tentang kebijakan publik. Lembaga semacam ini menghasilkan riset, analisis, dan saran yang berorientasi pada kebijakan publik tentang berbagai masalah domestik dan internasional. Dengan begitu, pengambil kebijakan dan publik umumnya dapat mengambil keputusan yang tepat tentang berbagai isu kebijakan publik.

Lembaga think tanks dapat merupakan institusi yang independen atau berafiliasi kepada pemerintah dengan struktur kelembagaan permanen, bukan merupakan komisi ad hoc. Lembaga ini juga sering menjadi jembatan antara akademisi dan pengambil keputusan; melayani kepentingan publik sebagai suara independen yang menerjemahkan hasil riset ke dalam bahasa yang bisa dipahami dan tepercaya.

Berdiri sejak 1971, tidak terlalu mengejutkan jika CSIS Jakarta menjadi think tank Indonesia yang terkemuka secara global. Lembaga ini pernah sangat berpengaruh pada Orde Baru, setidaknya sampai menjelang akhir dasawarsa 1980-an. Kini, meski pengaruhnya tidak lagi sekuat dulu, CSIS tetap merupakan lembaga penelitian paling terkemuka di Indonesia.

Memang tidak banyak lembaga think tank yang eksis pada masa Orde Baru, karena kuatnya pembatasan yang diberlakukan rezim pemerintahan dan militer. Tetapi, dalam masa pasca-Soeharto terlihat pertumbuhan signifikan lembaga semacam ini, termasuk yang didirikan mantan pejabat, sipil maupun militer dan politisi. Hal ini karena politik Indonesia menjadi lebih demokratis; pemerintah bukan hanya tidak mampu lagi mengontrol arus informasi, tetapi juga tidak dapat membendung kemunculan berbagai lembaga, termasuk lembaga think tank.

Banyak di antara lembaga yang didirikan pasca-Soeharto memiliki pretensi untuk mempengaruhi pendapat dan pertimbangan publik. Tetapi, kebanyakan mereka gagal melakukan riset dan kajian serius dan mendalam untuk menjadi pertimbangan pengambilan keputusan publik. Akhirnya, menjadi sekadar alat untuk pencapaian target politik tertentu.

Salah satu penyebab kegagalan adalah para pimpinan dan penelitinya bekerja paruh waktu. Sebagian besar mereka resminya bekerja pada instansi dan lembaga lain; universitas, lembaga penelitian pemerintah, birokrasi pemerintahan, atau lembaga nonpemerintah. Karenanya, mereka tidak bisa memberikan perhatian penuh pada lembaga think tank yang juga mereka tangani, sehingga hanya menghasilkan kajian dan riset yang tidak mendalam, dan karena itu, tidak memiliki bobot meyakinkan sebagai pertimbangan publik.

Sebuah think tank hanya bisa berhasil, jika para pengelola dan peneliti bekerja sepenuh waktu; dan mengabdikan seluruh perhatian dan kemampuan penelitian dan pengkajiannya pada lembaganya. Dengan begitu, mereka dapat menghasilkan kajian dan riset yang serius, mendalam, dan komprehensif tentang berbagai hal strategis.

Agar sebuah think tank dapat memiliki tenaga pengelola dan peneliti full-time dengan kualifikasi kompetitif, maka pendanaan menjadi hal sangat vital. Untuk itu, perlu dana endowment (hibah/wakaf) yang memadai, tidak hanya untuk membuat lembaga bisa berdiri dan maju, tapi juga untuk membiayai para pengelola dan penelitinya secara layak, dan juga agar dapat menjalankan program penelitian, kajian, dan penerbitannya secara baik. Jika hal ini bisa dilakukan, maka Indonesia dapat memiliki lebih banyak think tank yang hebat dan top.

Tidak ada komentar: