Kamis, 17 Januari 2008

Keaksaraan Fungsional

Bogor dengan jumlah penduduk 4 juta yang tersebar di 40 kecamatan, menurut data BPS (2006) memiliki 149 ribu warga yang buta huruf (15 tahun keatas). Hal ini yang menyebabkan Kab. Bogor menyandang peringkat 5 terburuk dari 25 kab/kota se-Jawa Barat dalam masalah pendidikan. Sedih (hi..hi..). Tapi pemerintah Kab Bogor optimis bahwa ketertinggalan tersebut dapat dikejar. Tahun 2009 merupakan target pemerintah Kab Bogor untuk menjadi daerah yang bebas buta aksara (kita berjuang dan berdo'a untuk itu, Amin).
IPB dengan LPPM-nya telah menggulirkan proyek yang diberi nama Keaksaraan Fungsional. Periode pertama dengan kerjasama Departemen Pendidikan telah dilaksanakan. Dan dengan antusiasme dan dukungan masyarakat, menunjukkan hasil yang sukses. Hal ini menjadi sorotan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan melalui Dinas Pendidikan Kab Bogor mengajak kerjasama untuk proyek yang sama. Maka digulirkanlah Program Keaksaraan Fungsional periode kedua. Targetnya, tentu saja warga Kab Bogor (ya..iyalah, SECARA.. yang biayain DisNak Kab, and penyelenggaranya IPB lagi, he..he..), tapi khusus untuk ibu-ibu yang telah berumur yang belum bisa/lancar Calistung (baca, tulis, hitung). Kenapa namanya Keaksaraan Fungsional? Kenapa bukan Pemberantasan Buta Huruf? Selain lebih "Keren", hal ini juga disebabkan meminimalisir rasa minder calon warga belajar (WB) yang tidak ingin disebut orang yang buta huruf.
Beberapa kecamatan di Bogor akan membentuk beberapa kelompok belajar. Kelompok belajar ini akan terdiri dari WB yang domisilinya tidak jauh dari tempat belajar. Para WB akan difasilitasi oleh tutor dari mahasiswa IPB, dan untuk mengantisipasi masalah perekrutan WB dan bahasa maka direkrutlah seorang tutor lokal dari masing-masing daerah. Jadi dalam sebuah kelompok belajar terdapat 2 tutor, tutor mahasiswa dan tutor lokal. Tugasnya sama, yaitu memfasilitasi WB agar mahir dalam Calistung.
Program ini akan berlangsung selama 3 bulan dengan 114 jam belajar. WB yang berhasil mengikuti program dengan baik akan mendapatkan Sukma (Surat Keterangan Melek Aksara). Ini adalah suasana belajar di kelompok belajar yang saya fasilitasi:

Sedangkan ini adalah suasana kelompok belajar Arief (rekan saya):
Terlihat sekali, bahwa jumlah WB di kelompok belajar saya lebih banyak dibanding di kelompok belajar Arief. Kenapa?
Ini bukan gambar warga yang sedang nonton sulap atau atraksi lainnya. Ini adalah antrian warga yang ingin mendapatkan minyak tanah dengan harga yang murah. WB kelompok Arief termasuk dalam warga yang antri. Harga minyak tanah di pengecer berada di level Rp3500, sedang di tempat ini hanya Rp2600. Dan setelah saya tanya, warga mengatakan bahwa mereka belum mendapatkan bantuan kompor dan tabung gratis dari pemerintah. Ironis? Warga desa -yang rendah pendidikan dan daya beli- pun, harus menjadi korban program pemerintah yang tidak jelas. Membuat minyak tanah sebagai barang yang langka, tetapi tidak menjalankan dengan sungguh-sungguh program konversi minyak tanah ke gas. Wallahu'alam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya baru baca artikelnya. saya jadi penasaran siapa nih yang nulis ? dari gambar saya berusaha mengenali penulis tapi masih belum ingat. jadi penasaran.wulan lppm ipb