Kamis, 27 Desember 2007

ULAT KECIL YANG BERANI

Andrie Wongso

"Yong gan de xiao chong"

Dikisahkan, ada seekor ulat kecil sejak lahir menetap di daerah yang tidak cukup air sehingga sepanjang hidupnya dia selalu kekurangan makanan. Di dalam hati kecilnya ada keinginan untuk pindah dari rumah lamanya demi mencari kehidupan dan lingkungan yang baru. Tetapi, dari hari ke hari dia tidak juga memiliki keberanian untuk melaksanakan niatnya. Hingga suatu hari, karena kondisi alam yang semakin tidak bersahabat, si ulat terpaksa membulatkan tekad memberanikan diri keluar dari rumahnya, mulai merayap ke depan tanpa berpaling lagi ke belakang.

Setelah berjalan agak jauh, dia mulai merasa bimbang. Katanya dalam hati, "Jika aku sekarang berbalik kembali ke rumah lama rasanya masih keburu, mumpung aku belum berjalan terlalu jauh. Karena kalau aku berjalan lebih jauh lagi, jangan-jangan jalan pulang pun takkan kutemukan lagi. Mungkin akhirnya aku tersesat dan... entah bagaimana nasibku nanti!"

Ketika Si Ulat sedang maju mundur penuh kebimbangan dan pertimbangan, tiba-tiba ada sebuah suara menyapa di dekatnya, "Halo ulat kecil! Apa kabar? Aku adalah Kepik. Senang sekali melihatmu keluar dari rumah lamamu. Aku tahu, engkau tentu bosan kekurangan makan karena musim dan cuara yang tidak baik terus menerus. Kepergianmu tentu untuk mencari kehidupan yang lebih baik, kan?"

Si Ulat pun bertanya kepada Si Kepik yang sok tahu, "Benar Kepik. Aku memutuskan pergi dari sarangku untuk kehidupan yang lebih baik. Apakah engkau tahu, apa yang ada di depan sana?" "Oh...Aku tahu, jalan ke depan yang akan kau lalui, walaupun tidak terlalu jauh tetapi terjal dan berliku. Dan lebih jauh di sana ada sebuah gua yang gelap yang harus kau lalui. Tetapi, setelah kamu mampu melewati kegelapan, aku beritahu, di pintu gua sebelah sana terbentang sebuah tempat yang terang, indah, dan sangat subur. Kamu pasti menyukainya. Di sana kau pasti bisa hidup dengan baik seperti yang kamu inginkan," Si Kepik dengan bersemangat memberi dorongan kepada Si Ulat yang tampak ragu dan ketakutan.

"Kepik, apakah tidak ada jalan pintas untuk sampai ke sana?" Tanya Ulat.

"Tidak sobat. Jika kamu ingin hidup lebih baik dari hari ini, kamu harus melewati semua tantangan itu. Nasehatku, tetaplah berjalan langkah demi langkah, fokuskan pada tujuanmu dan tetaplah berjalan. Niscaya kamu akan tiba di sana dengan selamat. Selamat jalan dan selamat berjuang sobat!" sambil berteriak penuh semangat, Si Kepik pun meninggalkan ulat.

Pembaca yang budiman,

Memang benar... kemenangan, kesuksesan, adalah milik mereka yang secara sadar, tahu apa yang menjadi keinginannya, sekaligus siap menghadapi rintangan apa pun yang menghadang, serta mau memperjuangkannya habis-habisan melalui cara-cara yang benar sampai mencapai tujuan akhir, yaitu kesuksesan.

Pengertian sukses secara sederhana demikian ini telah di praktikkan oleh manusia sukses berabad-abad lampau sampai saat ini sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Maka ...untuk meraih kesuksesan yang maksimal, kita tidak memerlukan teori-teori kosong yang rumit. Cukup tahu akan nilai yang akan dicapai dan take action! Ambil tindakan!

Rabu, 12 Desember 2007

SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah

Latar belakang berdirinya SLTP Alternatif

Dalam sebuah pertemuan yang menggagas pendidikan, oleh warga Desa Qaryah Thayyibah dibawah pohon besar nan rindang, Kepala Desa tiba-tiba keluar dari lingkaran warga menuju tempat yang terbuka, menggali tanah dan menanamkan sebuah bibit pohon kelapa "Kita penduduk Desa Qaryah Thayyibah akan melakukan banyak hal sebelum pohon kelapa ini berbuah" ucapnya ketika kembali.

Bertahun-tahun kemudian seorang pemuda berkata padaku (dulu aku peserta sekarang menjadi Kepala Desa) "Ada sebuah pertemuan tentang pembibitan benih lokal di Universitas Qaryah Thayyibah di dekat pohon kelapa yang mulai berbuah"

Kondisi Pendidikan Kita

Masyarakat Desa Qaryah Thayyibah yang progresif dan visioner melihat usaha memperoleh pengetahuan itu menuntut dirinya untuk berperan sebagai subjek, pencipta, pencipta kembali dan penemu ulang, rasa keingintahuan yang ada atau menciptakan pengetahuan yang baru. Keingintahuan bukan sekedar mentransfer sesuatu yang sudah ada secara biro-kratis, guru sekedar menjual dan mendis-tribusikan pengetahuan yang ada secara paket, sementara siswa membeli dan mengkonsumsi-kannya.

Dalam proses pemintaran ini, mengambil peran sebagai subjek bukan sesuatu yang mudah dalam kondisi sistem pendidikan kita yang sangat birokratis, sentralistik. Semisal guru, dapat digambarkan sebagai struktur kekuasaan dimana Kepala Sekolah tunduk pada pemerintah, pemilik modal (penerbit), kepala dinas di kecamatan tunduk pada atasannya sampai kepada m endiknas, mendiknas tunduk pada kepentingan politik dan seterusnya. Walhasil seorang guru dalam proses pemintaran harus tunduk pada Juklak- Juknis (Petunjuk Pelaksanaan-Petunjuk Tehnis), mengejar target, sekedar karir. Walhasil guru hanya sekedar opera-tor dari "atas" karena materi pengajaran telah diatur secara rinci, kurikulum dan buku-buku telah dipaket sehingga kemerdekaan guru untuk mengungkap kebenaran dan pendapatnya dipasung. Kesalahan ini tidak begitu saja ditimpakan pada guru, namun pertanyaan lebih jauh adalah ada apa dengan sistem pendidikan kita? Bagaimana membongkar sistem yang membelenggu? Apakah Konstitusi kita sudah dilaksanakan pemerintah untuk membiayai sekolahan sehingga anak petani desa dapat pintar menjadi insinyur pertanian?

Kejahatan dalam pendidikan kita bisa dilihat dari hal-hal yang dianggap kecil namun sesungguhnya berimplikasi besar bagi kesejahteraan warga negara khusunya warga miskin dan desa terpencil:

Akses pendidikan bagi warga desa terpencil tidak terpenuhi, menjadi kejahatan terbesar pelanggaran konstitusi ketika seorang anak kecil SMP berangkat sekolah jam 04.00 pagi karena jarak yang jauh.

Komersialisasi lembaga pendidikan, yang berdampak pada biaya pendidikan tinggi, sehingga warga miskin tidak menjangkau (uang gedung, laboratorium, seragam, biaya lain-lain yang terkadang tidak realistis).

Buku paket yang seharusnya gratis diper-jualbelikan bahkan justru dari kasus yang ada terdapat kolusi antara pengelola pendidikan dengan penerbit.

Guru dibelenggu daya kreatifitasnya akibat dari penyeragaman kurikulum dan instruksi diatasnya, akibatnya hak-hak murid hilang.

Pemerintah (departemen pendidikan dan guru negeri) hanya berorientasi mengejar karir sehingga pekerjaan mulia ini hanya sebatas melaksanakan tugas harian semata (rutunitas) sehingga keberpihakan pada out put murid menjadi lemah.

Rekruetmen tenaga pendidik masih berbau KKN, sehingga kualitas dan moralitas guru memperlemah kualitas kelulusananak didik.

Menjawab itu semua tentu saja tidak sekedar niat baik pemerintah atau lembaga-lembaga pendidikan, biarkan saja mereka menggagas sendiri, toh hingga sekarang implementasi gagasan yang dirancang intelektual yang hebat-hebat akan sulit terealisir, karena tidak memahami masyarakat desa, tetapi kita orang desa harus segera menggagasnya. Dari desa kita guncang model pendidikan yang terbaik untuk anak-anak desa.

Sekolah Berbasis Komunitas

Harapan masyarakat desa qaryah thayyibah yang kondisinya masih perlu peningkatan kesejahteraaan tentunya kedepan harus memiliki cita-cita agar sekolah dapat terjangkau, dekat, murah dan memenuhi kebutuhan lingkungannya. Harapan iu tentunya tidak begitu saja digan-tungkan kepada lembaga-lembaga formal pendidikan, namun harus mulai digagas oleh warga, konsep dasarnya adalah sekolah berbasis komunitas/desa (Community Base Schooling) dimana wargalah yang menentukan baik buruknya anak-anak desa kedepan. Pendidikan dikelola bersama dalam sebuah lembaga pendidikan, dimana antara warga desa, pemerintah desa, orang tua murid, guru, anak didik, secara rutin dan terus-menerus mengevaluasi, merencana-kan dan mengawasi secara bersam-sama. Inilah yang disebut dengan pendidikan alternatif yang digagas warga, dikelola bersama, dibesarkan bersama dengan tujuan meningkatkan mar-tabat warga desa itu sendiri.

Sekolahan alternatif ini mendasar-kan proses pemintaranya pada analisis kehi-dupan nyata, adanya kesatuan mengajar dan belajar, mengajar disertai belajar, guru dan siswa adalah tim dan masyarakat desa menjalin persahabatan dengan lembaga sekolahan ini. Kesatuan inilah yang akan membongkar citra bahwa sekolah itu dingin tak berjiwa, birokratis, penyeragaman, asing bagi kaum miskin di pedesaan, dan mem-bosankan bagi guru dan siswa. Tidak ada dikotomi miskin kaya, guru killer (menakutkan), murid nakal, mata pelajaran momok dan sebagainya. Konsep utamanya adalah kegembiraan untuk semua.

Kondisi Warga Desa Qaryah Thayyibah

Sebagaimana makna harfiahnya Qaryah Thayyibah adalah "desa yang indah", tentunya cita-cita paling mendasar dari sebuah proses menuju desa yang didalamnya tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokalnya namun tetap berpandangan global, pendidikan anak-anak desa adalah kunci dari masa depan desa tersebut. Pendidikanlah yang menghantar-kan kemajuan, kesejahteraan dan keindahan desa. Desa yang indah terlukiskan manakala anak-anak desa berpengetahuan, dapat mengelola sumber dayanya sendiri, kelak kemudian hari anak-anak tersebut adalah aset desa yang dapat memimpin desanya dengan pengetahuan yang benar, bermoral, mencintai desa dan lingkungannya.

Namun kondisi ideal ini masih jauh dari harapan, beberapa desa dilingkup Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah masih belum dapat mengakses pendidikan. Jarak tempuh antara rumah dan lembaga sekolahnya jauh, sebagai gambaran Dusun Nglelo (Paguyuban Petani Candi Laras Merbabu), Batur, Kec. Getasan, seorang siswa harus berangkat jam 04.00 pagi dengan jarak + 10 Km, bisa dibayangkan kondisi fisik dan psikhisnya ketika harus menerima pelajaran, jika pun harus ditempuh dengan kendaraan (ojek) orang tua siswa harus mengeluarkan ongkos Rp. 15.000,- pergi pulang, sementara kondisi ekonomi petani desa tidak memungkinkan hanya sekedar ongkos transportasi, belum lagi SPP yang tinggi, uang jajan (tentunya jarak tempuh yang jauh menguras energi siswa), uang buku, ongkos seragam sekian stel, biaya ekstrakulikuler, uang gedung dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi di Glinggang (Paguyuban Petani Otek Makmur, Boyolali), Paguyuban Petani Gunung Payung (Temanggung), Cuntel (Paguyuban Petani Jabal Sarif Merbabu, Kab. Semarang), Selo (Paguyuban Petani Merapi dan Setyo Tunggal, Boyolali), Paguyuban Petani Pangeran Samudro Manunggal (Kedungombo, Sragen), Paguyban Petani Candi Laras Merbabu, Kab. Semarang) dan masih banyak lagi orang desa yang terpencil, tinggal di puncak gunung, terabaikan sehingga akses pendidikan anak-anak mereka menjadi ketinggalan.

Kondisi umum tersebut diatas juga terjadi di hampir semua desa, warga kebanyakan adalah petani miskin, dimana untuk urusan sekolah menjadi nomor dua, ada ujar-ujar yang sering kita dengar, sekolah duwur-duwur, metu-metu nganggur, hal ini sebenarnya salah satu bentuk kekecewaan warga terhadap keluaran siswa yang tidak sebanding dengan biaya yang ditimpakan pada orang tua siswa.

Studi kasus di SMP Alternatif Otek Makmur Glinggang, Kemusu, Kab. Boyolali dapat dibuktikan. Sebelum berdiri ditengah tengah warga hanya ada kurang lebih 10 anak tiap tahun meneruskan ke SMP yang jaraknya 7,5 km, namun setelah warga mendirikan SLTP Alternatif tahun 2004 yang mendaftarkan untuk angkatan pertama 45 siswa, fantastis! Gagasan Paguyuban Petani Otek Makmur bisa mengan-tisipasi 800 anak yang terancam drop out (tidak sekolah) hingga tahun 2009.

Pendidikan Alternatif?

Kejengahan (kejengkelan) terhadap sitem pendidikan yang tidak berpihak pada kaum miskin terutama warga desa menjadi inspirasi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah untuk segera menggagas pendidikan yang dapat menunjang visi gerakannya yaitu "Mewujudkan masyarakat tani yang tangguh yang mampu mengelola dan mengontrol segala sumber daya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki dan perempuan".

Visi jauh kedepan inilah yang kemudian dirumuskan dalam Lembaga Pemintaran Petani (LPP) Qaryah Thayyibah dalam rangka mewujudkan masyarakat tani yang tangguh. Konsep pendidikan alternatif inilah yang diharapkan kedepan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani untuk mempercepat proses terciptanya "Desa yang Indah".

Dikatakan alternatif karena selama ini sistem pendidikan kita masih membelenggu, dingin, birokratis, dan tidak berpihak (terutama kaum miskin dan warga desa). Maka sebagai konsep tanding dari sistem tersebut SPPQT menawarkan prinsip pendidikan alternatif sebagai berikut:

Prinsip utama, pendidikan dilandasi semangat membebaskan, dan semangat perubahan kearah yang lebih baik. Membebaskan berarti keluar dari belenggu legal formalistik yang selama ini menjadikan pendidikan tidak kritis,dan tidak kreatif, sedangkan semangat perubahan lebih diartikan pada kesatuan belajar dan mengajar, siapa yang lebih tahu mengajari yang belum paham, hal ini kemudian akan didapat seorang guru ketika mengajar sebenarnya dia sedang belajar, terkadang belajar apa yang tidak diketahuinya dari murid.

Prinsip kedua, keberpihakan, adalah ideologi pendidikan itu sendiri, dimana akses keluarga miskin berhak atas pendidikan dan memperoleh pengeta-huan.

Prinsip ketiga, metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembi-raan murid dan guru dalam proses belajar mengajar, kegembiraan ini akan muncul apabila ruang sekat antara guru-murid tidak dibatasi, keduanya adalah tim, berproses secara partisipatif, guru sekedar fasilitator dalam meramu kurikulum.

Prinsip keempat, Mengutamakan prinsip partisipatif antara pengelola sekolah, guru, siswa,wali murid, masyara-kat dan lingkungannya dalam merancang bangun sistem pendidikan yang sesuai kebutuhan, hal ini akan membuang jauh citra sekolah yang dingin dan tidak berjiwa yang selalu dirancang oleh intelektual kota yang tidak membumi (tidak memahami masyarakat).

Prinsip-prinsip inilah yang kemudian diturunkan dalam sebuah konsep pendidikan alternatif, bagaimana guru, pengelola, siswa, sarana penunjang dan lingkungannya saling berinteraksi:

GURU

1. Sebagai syarat utama pendidikan alternatif guru dan pengelola harus memiliki idealisme dan komitmen tinggi untuk selalu berpihak pada kemiskinan dan lingkungan.

2. Guru memahami metodologi pendidikan, punya kerangka berfikir yang terbuka.

3. Menguasai materi yang akan diajarkan, namun tetap menempatkan siswa sebagai tim yang secara bersama-sama berproses dalam belajar

4. Memahami analisis sosial, sehingga kebutuhan siswa dan masyarakat dilingkungan desanya terpenuhi

5. Memposisikan diri mengajar disertai belajar. Sehingga secara terus menerus memperbaiki kekurangan-kekurangan.

SISWA

1. Pemahaman bukan hafalan, mengetahui tidak sama dengan menelan pengetahuan mentah-mentah

2. Kontekstual, sesuai kebutuhan, pemanfaatan lingkungan sebagai media belajar aktif, dialami sendiri dalam kesehariannya

3. Muncul semangat kebersamaan diantara siswa, bagi yang nakal secara demokratis antar siswa sendiri yang memberikan hukuman, bukan guru. Bagi yang berprestasi secara bersama-sama disepa-kati diberi penghargaan, siapa yang tahu mengajari yang belum tahu, saling mengevaluasi antar siswa.

4. Kecerdasan siswa tidak hanya diukur dari nilai (kecerdasan intelektual), tetapi sejauh mana tingkat emosionalnya dan kecerdasan religinya.

5. Siswa selalu gembira sehingga akan muncul inovasi dan kretifitas karena proses belajar tidak penuh tekanan.

Sarana Penunjang

Sarana penunjang pendidikan alternatif tidaklah mengharapkan gedung yang hebat, pagar tembok tinggi, seragam mewah, namun bagaimana seorang siswa befikir global bertindak lokal. Diantara sarana yang harus ada dan diprioritaskan adalah:

1. IT (Informasi dan Tehnologi), lebih spesifik adalah internet, seorang siswa akan menjelajahi pengetahuan tidak hanya sebatas buku paket, tapi ia akan lebih banyak memahami dan mencari pengetahuannya secara terbuka dan bebas. Internet difamami sebagai perpustakaan

2. Pemanfaatan lingkungan sebagai media belajar, siswa secara langsung bersentuhan dengan pertanian, home industri, konservasi alam, air, warung desa, dsb

3. Tokoh penggerak desa, ini menjadi penting karena ialah yang menjadi fasilitator sekaligus mediator bagi lembaga sekolah, masyarakat, pemerin-tah lokal, dan orang-orang yang terkait dengan sekolah, dapat dibayangkan jika ia dapat mendorong sebuah desa muncul perdes (peaturan desa) tentang pendidikan (sebagian pajak desa diberikan untuk sekolah tersebut)

Institusi Sekolah

Institusi sekolah dikelola dengan prinsip alam dan lingkungan sebagai laboratorium raksasa, arena hidup yang nyata, plural, terus berkembang dan berubah, prinsip inilah yang menjadi pegangan agar lembaga sekolah selalu dinamis dan progresif dalam perjalananya, tidak mandeg tetapi terus menyesuaikan perkembangan masyarakat.

SLTP Alternatif merupakan lembaga pendidikan yang didirikan atas prakarsa masyarakat Kalibening, kemudian didukung beberapa orang luar yang faham realita baik sistem pendidikan formal maupun keresahan lain.

Dilanjutkan dengan diadakannya musyawarah warga untuk membahas gagasan tersebut. Dalam pertemuan itu dibicarakan antara lain :
Adanya keresahan biaya pendidikan yang dirasa berat.
Diberlakukannya sistem antara pendidikan dan pengajaran yang sebagian tidak relevan. Seakan sekedar mengejar target untuk mendapatkan sertifikat akhir jenjang.

Pada bagian lain para orang tua tentu tidak tega jika harus membiarkan anaknya untuk tidak melanjutkan sekolah mereka. Keresahan ini semakin lama semakin menguat karena para orang tua di Kalibening berkeyakinan bahwa membiarkan anaknya tidak melanjutkan sekolah sama halnya memangkas masa depan mereka. Secara keagamaan ini berarti menyia-yiakan amanat Tuhan, dan secara kemanusiaan berarti merampas hak anak untuk pandai dan hidup secara lebih baik.
Maka SLTP alternatif ini dirintis dengan harapan mampu menjawab persoalan sebagaimana tersebut diatas dengan selamat dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Kalibening khususnya dan masyarakat pendidikan pada umumnya.

Belief Tentang IQ Dan Implikasinya

Adi W. Gunawan

Pembaca, anda, saya yakin, pasti pernah melakukan tes IQ. Entah itu saat masih di sekolah, saat mau masuk kerja di perusahaan, atau mungkin saat anda ingin menikah. Lho, apa hubungan menikah dengan tes IQ? Mungkin calon mertua anda, yang memperhatikan faktor bibit, bebet, dan bobot, ingin mendapatkan menantu bibit unggul. Jangan terlalu serius memikirkan pernyataan saya di atas... hanya bercanda.

Kembali saya bertanya pada anda, "Pernahkah anda melakukan tes IQ? Kalau pernah, berapa skor IQ anda?"

Saya pernah melakukan tes IQ. Dulu... waktu saya masih di awal SMA. Berapa skor IQ saya? Ya jelas tinggi dong. Lha, masa saya yang pintarnya seperti ini IQ-nya biasa-biasa. Kan nggak masuk akal dong.

Sabar... sabar...sekali lagi saya hanya bercanda. Nanti anda pikir saya mengidap narsisisme alias orang yang memandang diri sendiri terlalu tinggi. IQ saya biasa-biasa saja. Nggak terlalu tinggi namun juga nggak sampe jongkok lah.

Saat mendengar bahwa anda harus mengerjakan tes IQ, bagaimana perasaan anda? Apa yang ada di pikiran anda? Berapa skor IQ yang anda harapkan dapat anda capai?

Berapapun skor IQ anda bukan itu yang hendak saya bahas dalam artikel ini. Yang ingin saya bahas adalah apa belief atau kepercayaan anda mengenai IQ. Apakah anda percaya bahwa IQ adalah sesuatu yang fixed, tidak berubah. Ataukah anda percaya bahwa IQ bisa berubah, bisa naik, bisa turun?

Ada dua teori mengenai kecerdasan atau IQ. Teori pertama mengatakan bahwa IQ adalah sesuatu yang tetap, permanen, tidak bisa berubah atau diubah apapun kondisinya. Teori ini mengatakan bahwa setiap orang mempunyai IQ dengan "kadar" tertentu. Teori ini dikenal dengan nama "entity theory" of intelligence karena kecerdasan digambarkan sebagai suatu "makhluk" yang tinggal di dalam diri kita dan kita tidak dapat mengubahnya.

Teori kedua mengatakan bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang fixed. Kecerdasan adalah sesuatu yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran. Teori ini dikenal dengan nama "incremental theory" of intelligence karena kecerdasan digambarkan sebagai sesuatu yang dapat ditingkatkan melalui upaya seseorang.

Pertanyaannya sekarang adalah anda percaya teori yang mana? Yang pertama atau kedua?

Mengapa saya bertanya demikian? Karena setiap belief tentang IQ membawa implikasi yang spesifik.

Oh ya, sebelum saya teruskan, tahukah anda bahwa Alfred Binet merancang tes IQ sebenarnya bukan untuk mengukur tingkat kecerdasan anak, tetapi untuk mengidentifikasi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar di sekolah publik di Paris. Anak-anak ini selanjutnya akan ditangani secara khusus agar dapat berkembang lebih baik. Jadi, tes IQ bukan bertujuan untuk memberikan label, seperti yang selama ini terjadi di masyarakat kita.

Nah, sekarang mari kita bahas implikasi dari masing-masing belief teori kecerdasan. Saya akan membahas implikasinya terhadap murid sekolah.

Murid yang percaya bahwa kecerdasan bersifat tetap, entah dari mana ia mengadopsi kepercayaan ini, mungkin dari orangtuanya atau gurunya, maka mereka akan sangat peduli dengan skor IQ. Murid tipe ini berusaha untuk bisa tampak dan tampil cerdas. Mereka benar-benar tidak mau tampak atau dipandang sebagai anak bodoh.

Apa yang membuat murid ini, yang percaya bahwa kecerdasan bersifat tetap, bisa tampak cerdas? Yaitu dengan mencapai sukses yang diraih dengan mudah, tanpa harus susah payah, dan mengalahkan murid lainnya. Murid ini akan mulai meragukan kecerdasannya bila berhadapan dengan murid lain yang lebih cerdas, atau saat mereka mengalami kegagalan, kesulitan, atau tugas yang membutuhkan upaya besar untuk menyelesaikannya. Hal ini berlaku bahkan terhadap murid yang mempunyai kadar percaya diri yang tinggi terhadap kecerdasan mereka.

Teori kecerdasan bersifat tetap mengharuskan murid untuk sukses, agar mereka bisa tampak cerdas, dan ini sekaligus membuktikan bahwa mereka mempunyai kadar kecerdasan yang tinggi. Jika mereka tidak sukses berarti kadar kecerdasan mereka rendah. Tidak ada orang yang ingin terlihat bodoh, kan?

Murid yang percaya dengan teori ini melihat tantangan sebagai ancaman bagi harga diri mereka. Mereka akan menolak atau menarik diri dari suatu tugas yang mungkin akan mengungkapkan kekurangan mereka. Saat berhadapan dengan kondisi yang sulit, mereka akan mengalami yang disebut dengan helpless response atau respon ketidakberdayaan.

Bagaimana dengan belief yang mengatakan bahwa kecerdasan dapat dikembangkan? Apa implikasi bagi murid yang percaya dengan teori ini?

Mereka yang percaya dengan teori ini mengakui adanya perbedaan level pengetahuan dan kecepatan dalam mempelajari dan menguasai sesuatu, pada masing-masing individu. Namun mereka lebih fokus pada ide bahwa setiap orang, dengan upaya dan bimbingan, dapat meningkatkan kapasitas intelektual mereka. Ini mirip dengan Zone of Proximal Development-nya Vygotsky

Murid yang yakin bahwa kecerdasan mereka tidak tetap, dapat ditingkatkan, akan terus berusaha. Mereka akan lebih terbuka menghadapi tantangan. Mereka tidak akan khawatir bila mengalami kegagalan. Mengapa bisa demikian? Karena sebenarnya tidak ada yang gagal. Yang mereka alami adalah bagian dari proses pembelajaran. Ya, sudah lumrah kan kalau belajar pasti membutuhkan waktu untuk menguasai materi pelajaran.

Bahkan murid dengan kepercayaan diri yang rendah terhadap kecerdasan mereka tetap akan bersemangat untuk belajar dan mengerjakan tugas yang mereka tahu cukup sulit. Mereka akan tetap tekun dan konsisten.

Apa yang membuat murid ini, yang percaya bahwa kecerdasan dapat dikembangkan, merasa cerdas?

Mereka merasa cerdas bukan dengan melihat hasil akhir. Mereka merasa cerdas jika sungguh-sungguh berusaha menyelesaikan tugas mereka, mengeluarkan segala daya upaya untuk mengerti dan akhirnya menguasai suatu bidang studi tertentu, mengembangkan keterampilan mereka, dan menggunakan pengetahuan mereka, misalnya dalam membantu kawan mereka belajar. Murid-murid tipe ini mempunyai pola sukses yang disebut dengan respon orientasi pada penguasaan atau mastery-oriented response.

Pembaca, dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa teori kecerdasan, yang diyakini oleh masing-masing siswa, memprediksi dan mengakibatkan perbedaan pencapaian.

Anda pasti merasa penasaran dan ingin tahu saya mempercayai teori yang mana, kan?

Saya pribadi percaya pada teori kedua. Saya percaya bahwa kercerdasan dapat dikembangkan. Saya sendiri telah membuktikannya. Nggak percaya?

Baiklah, saya akan menceritakan sedikit mengenai masa kecil saya. Percayakah anda bila saya ini dulunya waktu di SD kelas 1 pernah nggak naik kelas? Sungguh, saya pernah tinggal kelas waktu di SD. Namun inilah yang membuat perbedaan besar. Lha, orang-orang pada umumnya menyelesaikan SD dalam waktu enam tahun, saya tujuh tahun. 

Kita semua tahu bahwa SD adalah sekolah dasar. Mungkin ini salah satu alasan mengapa saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Lha, sekolah dasar saja lebih lama dari orang lain. Berarti dasar saya lebih kuat.

Waktu SMP dan SMA saya biasa-biasa saja. Waktu kuliah S1 saya masuk jurusan teknik elektro. Semester tiga saya hampir OD. Selanjutnya waktu di semester atas saya hampir DO. Apa bedanya OD dan DO. Jelas beda. Kalo OD itu Out Dhewe. Artinya saya yang memutuskan keluar sendiri. Kalo DO itu Drop Out alias di-phk oleh perguruan tinggi tempat saya belajar.

Saya lulus S1 dengan predikat "memprihatinkan". Bagaimana tidak memprihatinkan, orang-orang selesai kuliah tepat waktu, eh saya malah molor. Pake hampir di-DO segala. IP? Jelas di atas 2.0 lha. Tapi nggak tinggi-tinggi amat. Malu ah kalo harus saya ceritakan di artikel ini. Namun apa yang terjadi waktu saya kuliah S2? Ceritanya berbeda. Saya lulus dengan pujian dan mendapat penghargaan khusus dari rektor sebagai wisudawan terbaik dengan IPK tertinggi.
Anda jelas sekarang mengapa saya percaya pada teori yang kedua? Tapi jangan salah mengerti. Saya bisa mencapai hasil seperti ini karena mendapat bimbingan dari dosen-dosen saya. Saya juga dipaksa keluar dari comfort zone dengan berbagai tugas yang saya dapatkan selama kuliah S2.

Sekarang saya lagi kuliah S3 di Malang. Saya harus nyetir pulang pergi Surabaya – Malang setiap minggu tiga kali. Ada kuliah yang dimulai jam 07.00 pagi. Berarti sya harus berangkat dari Surabaya jam 04.30, karena harus melewati Porong yang macet akibat lumpur Lapindo. Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan gelar doktor tapi lebih untuk mengembangkan kapasitas intelektual saya, sesuai dengan teori kecerdasan yang saya yakini.

So, pembaca, hati-hati dengan belief anda tentang IQ. Mungkin anda tidak sadar bahwa belief anda ini telah tertransfer ke anak anda. Akibatnya? Risiko tanggung sendiri, lho.