Kamis, 05 April 2007

PENDIDIKAN
Guru dan Kampanye Politik

Salah satu tujuan pendidikan secara mendasar adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, pendidikan apa pun jenisnya tidak bisa melepaskan misi tersebut. Dengan pendidikan, generasi bangsa bisa mengerti, kebodohan merugikan, ketidakadilan kezaliman, eksploitasi manusia melanggar hak asasi manusia, dan sebagainya.
Untuk bisa menjalankan misi itu, pendidikan harus berdiri dan berada dalam posisi yang independen. Pendidikan harus terjaga dari imbas-imbas pragmatisme politik sesaat, ideologi-ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara, dan kepentingan-kepentingan ekonomi industrial yang eksploitatif.
Dalam perspektif ini, pendidikan harus komitmen terhadap ideologinya, yakni mengembangkan kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, ideologi dunia pendidikan adalah ideologi ilmu pengetahuan yang secara riil yang sangat menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Tetapi pertanyaannya adalah benarkah dunia pendidikan kita benar-benar bisa terhindar dari bias-bias politik pragmatis? Benarkah para guru yang merupakan mesin penggerak pendidikan juga terhindar dari tekanan-tekanan politik sehingga berjiwa merdeka? Pertanyaan-pertanyaan itu menarik untuk diketengahkan melihat fenomena, dalam realitas guru sulit terbebaskan dari tekanan-tekanan partai politik tertentu.
Berdasarkan prinsip-prinsip pedagogis tersebut, seorang pendidik (guru) semestinya terbebas dari segala macam tekakan, dan diharapkan bisa mengajarkan etika politik yang murni dan jernih. Peserta didik pun bisa mendapat pengetahuan yang benar. Tetapi dalam dunia pendidikan kita, sulit membebaskan guru dari kepentingan-kepentingan politik pragmatis. Atau dalam kamus politik disebut ideologisasi. Guru diberi paket untuk menyebarkan, mendukung, dan memenangkan ideologi politik tertentu.
Pembedaan Media
Imbas dunia pendidikan sudah tidak sejuk lagi. Udara ilmu pengetahuan dan proses belajar-mengajar sudah sering terdistorsi. Lebih jauh lagi, guru diharapkan tidak sekadar pendukung ideologi politik tertentu, tetapi juga memberikan sumbangan finansial berupa pemotongan gaji untuk kepentingan kampanye. Jelasnya guru tidak hanya dituntut untuk berkampanye di dalam kelas, tetapi juga ikut menyandang dana kampanye.
Memang tidak ada halangan dan tidak ada larangan guru berkampanye untuk memenangkan salah satu organisasi peserta pemilu. Karena berpolitik adalah hak setiap warga negara. Justru dengan keterlibatan dalam berbagai kegiatan politik, diharapkan guru mengetahui banyak persoalan politik.
Tetapi persoalannya, perlu dibedakan medan dan medianya, serta sasaran kampanye politik. Guru boleh saja berkampanye, tetapi jangan di dalam kelas, terutama pada pemilih-pemilih pemula yang sebagian anak-anak SMA.
Pemilih pemula sebetulnya membutuhkan penjelasan-penjelasan tentang politik. Apa itu pemilu, demokrasi, hak-hak rakyat, kewajiban-kewajiban rakyat dan negara, begaimana pemilu yang berkualitas, serta bagaimana sebagai warga negara bisa ikut berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam pesta demokrasi.
Untuk melaksanakan fungsi penjelas berbagai persoalan tersebut, guru harus mengorientasikan kampanyenya dalam sepektrum yang luas dan berjangkauan ke depan.
Guru secara moral memiliki tanggung jawab secara etis atas persoalan-persoalan politik bangsanya. Dengan demikian, yang dilakukan guru bukan menggiring anak didik untuk memilih OPP tertentu atau bahkan tidak memilih dalam pemilu. Guru haruslah seperti resi. Dia memiliki tanggung jawab membenahi etika politik bangsa, bukan hanyut dalam pragmatisme politik yang sifatnya sesaat.
Dunia pendidikan secara makro harus bisa menjalankan dua fungsi dalam hal pendidikan politik. Pertama, dunia pendidikan perlu menjadi pendukung sistem politik dan ideologi negara yang sudah diyakini kebenarannya.
Seperti persoalan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Karena kedua hal itu sudah diyakini kebenarannya dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dunia pendidikan harus menjadi pendukung utama untuk melestarikan dua legitimasi sistem kenegaraan dan perpolitikan tersebut.
Kedua, dunia pendidikan harus mampu melakukan kritik-kritik terhadap budaya politik yang dianggap menyeleweng. Fungsi itu hanya bisa dilakukan bila para guru benar-benar merdeka dari tekanan kepentingan politik praktis OPP tertentu. Tetapi sebaliknya, fungsi itu sulit bisa direalisasikan bila para guru sudah terkooptasi oleh ideologi-ideologi partai politik tertentu.
Etika
Salah satu sebab kondisi pendidikan politik dan budaya politik di Tanah Air kurang segar adalah kelemahan fungsi kritik yang harus dijalankan oleh dunia pendidikan di tingkat menengah sampai perguruan tinggi. Implikasi konkretnya adalah partisipasi politik dalam pemilu untuk memilih OPP tertentu bukan didasarkan pada kesadaran dan kekritisan setelah mengkaji berbagai hal.
Pemilihan pada OPP tertentu lebih didasarkan pada tekanan-tekanan, karena ikatan emosional, pengaruh lingkungan, dan takut dikucilkan kelompoknya.
Dalam kondisi seperti itu, mestinya dunia pendidikan, terutama di tingkat menengah, harus berposisi sebagai penyegaran pandangan, wawasan, dan nuansa politik agar para generasi muda tidak makin apatis terhadap persoalan politik. Para guru yang dihadapkan pada para pemilih pemula harus bertanggung jawab bagaimana bisa meningkatkan kualitas pemilu.
Peran itu bisa dilakukan bila para guru mampu mengajarkan sistem dan nilai-nilai demokrasi yang benar kepada anak didik. Dalam proses belajar-mengajar, guru harus menjadi contoh atau figur bagaimana menjadi sosok yang demokrat, toleran, dan inklusif dalam menghadapi berbagai persoalan politik.
Diperlukan pembenahan-pembenahan etika politik sejak dini lewat pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan adalah bekal masa depan generasi muda. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan demokrasi serta etika politik yang bersih dan berwibawa, jika sejak usia dini murid dicecoki harus memiliki referensi tunggal dalam menentukan pilihan politik. Padahal, politik sangat kondisional dan selalu berubah-ubah.
Karena itu, yang perlu diajarkan adalah etika politik. Sebab, etika tidak sekadar bicara benar-salah sebuah pilihan politik, tetapi memberikan wawasan atas dasar apa pilihan politik itu harus ditentukan. Dengan pengetahuan yang mendasar tersebut, para siswa atau peserta didik dalam dunia pendidikan makro tidak hanya mampu menjatuhkan pilihan yang benar, tetapi juga menjadi pelaku-pelaku politik yang baik. Menjadi politikus-politikus yang bermoral dan memiliki tanggung jawab moral.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

(Dikutip dari: materi Strategic Forum – QPlus Management Strategies 2008)

Strategi Filsafat Penelitian Milenium III
(Butanya Dasar Belajar Mengajar: Theory of Everything)
Oleh: Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. MEREKA (para peneliti – QZ) seakan-akan pelukis yang mengumpulkan tangan, kaki, kepala dan anggota-anggota lain bagi lukisannya dari macam-macam model. Masing-masing bagian dilukis dengan sangat bagus, tetapi tidak dihubungkan dengan satu tubuh sendiri, dan karena sama sekali tidak akan cocok satu sama lain, hasilnya akan lebih merupakan monster daripada manusia (Nicolas Copernicus).

APAKAH (ilmu) pengetahuan yang terkumpul, dipelajari, dimiliki dan diajarkan selama ini masih berupa monster? Bayangkan sosok gambaran seluruh (ilmu) pengetahuan semesta yang berserakan. Lebih kecil lagi, seluruhnya di satu pustaka. Lebih kecil lagi, di satu cabang ilmu. Lebih kecil lagi, di satu bidang ilmu. Lebih kecil lagi, satu hal sosok gambaran tentang semut, puisi, manajemen atau jembatan saja, terdiri atas potongan kacau banyak sekali. Potongan-potongan tulisan sangat bagus sampai buruk, jelas sampai kabur, dan benar sampai salah besar, yang tak menyatu, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan meski hal yang sama sekalipun. Ini membuat sulit siapa pun meneliti, belajar dan mengajarkan, ditandai dengan polemik panjang.

Mengapa bisa demikian? Ada analogi menarik cerita lima orang buta ingin mengetahui tentang seekor gajah, yang belum pernah tahu gambaran binatang itu. Selain buta, tubuh mereka berbeda-beda tinggi badannya. Mereka pun berbaris berjajar, menghadap seekor gajah besar yang di keluarkan pemiliknya dari kandang. Orang yang pertama agak tinggi badannya, maju meraba bagian depan memegang belalai dan mengatakan gajah itu seperti ular. Yang kedua sedang badannya, meraba mendapati bagian kaki dan mengatakan gajah seperti pohon kelapa. Yang ketiga tinggi badannya, memegang bagian kuping dan mengatakan gajah seperti daun talas. Yang keempat paling pendek badannya, maju di bawah perut gajah tidak memegang apa-apa dan mengatakan gajah seperti udara. Yang kelima pendek tubuhnya, maju meraba bagian belakang memegang ekor dan mengatakan gajah itu seperti pecut. Tentu, pemahaman gajah sesungguhnya dari kelima orang buta ini akan berbeda bila disodorkan gambar ukiran timbul atau patung kecil seekor gajah sebelumnya.

Seperti itulah, siapa pun yang hanya memahami satu sudut pandang cabang (ilmu) pengetahuan sebagai gambaran pemecahan suatu masalah, tanpa luasan pandang menyeluruh (ilmu) pengetahuan. Memang, merupakan hukum alam segala sesuatu yang seragam (besar sedikit jumlahnya) makin lama makin beragam (kecil banyak jumlahnya), dan pada tingkat kekacauan dibutuhkan sistem keteraturan untuk memahaminya sebagai satu kesatuan. Tetapi, nampak (hampir) mustahil (karena tenaga, waktu dan biaya terbatas) mempelajari seluruh cabang (ilmu) pengetahuan mendapatkan pemahaman luas dan dalam semesta untuk suatu masalah. Betapa beruntung dunia andai sosok kecil gambaran satu kesatuan the body of science itu ada. Gambaran rangkuman prinsip-prinsip satu kesamaaan semua hal dari sekian banyak perbedaan dalam semesta, sebuah Theory of Everything (TOE).

JIKA Anda tahu bagaimana alam semesta ini bekerja, Anda dapat mengaturnya (Stephen William Hawking).

Kemudian, bagaimanakah mengetahui seseorang (dan juga diri sendiri) sebenarnya tergolong buta (karena tanpa TOE) terhadap sosok (ilmu) pengetahuan dimiliki sekarang?

Dengan sopan dan rendah hati, semua peneliti, pengajar atau siapa pun bidang apa pun harus menanyakan: Apa prinsip dasar asumsi penelitian, belajar dan mengajar (ilmu) pengetahuan yang diteliti, dimiliki atau diberikan? Jika jawaban berupa kalimat retorika atau basa-basi, mungkin ia (dan kita) tergolong masih buta tentang the body of science hal bidang ilmu pengetahuan itu.

Lalu, apa rangkuman (kecil) prinsip dasar asumsi TOE dalam meneliti, belajar, mengajar dan mengelola ilmu pengetahuan hal apa pun?

KETIDAKMAMPUAN seseorang untuk menjelaskan idenya secara singkat, barangkali dapat merupakan tanda bahwa dia tidak mengetahui pokok persoalan secara jelas (C. Ray Johnson).

Ilmu pengetahuan (obyek empiris) dinyatakan benar ilmu pengetahuan selama asumsi dasar diakui, yaitu ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang teratur (systematic knowledge) (pernyataan yang diterima setelah abad XVII) (The Liang Gie, 1997:380). Tanpa asumsi dasar keyakinan adanya keteraturan ini, proses meneliti, belajar mengajar apa pun yang di bangun di atasnya hanyalah potongan-potongan pengetahuan yang tidak efektif, efesien dan produktif. Seperti pernyataan jernih ilmuwan Carl Sagan, bahwa jika kita hidup di atas sebuah planet di mana segala sesuatu tidak pernah berubah, sedikit sekali yang bisa dikerjakan. Tidak ada yang harus dibayangkan, dan tidak akan ada dorongan untuk bergerak menuju ilmu pengetahuan. Namun jika kita hidup di dalam dunia yang tidak bisa diramalkan di mana semua hal berubah secara acak atau dengan cara sangat rumit, kita juga tidak akan bisa menggambarkan semua keadaan. Di sini juga tidak ada ilmu pengetahuan. Tetapi kita hidup di dalam semesta yang berada di kedua keadaan ini. Di alam ini semua keadaan berubah, tetapi mengikuti pola, aturan, atau mengikuti yang kita katakan sebagai hukum-hukum alam.

Lebih jelas, prinsip dasar asumsi keteraturan ini diurai Jujun S. Suriasumantri (1977:7-9) dengan baik, yaitu obyek empiris (tertentu) itu serupa dengan lainnya seperti bentuk, struktur, sifat dan lain-lain, lalu (sifat) obyek tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu (meski pasti berubah dalam waktu lama yang berbeda-beda), serta tiap gejala obyek bukan bersifat kebetulan (namun memiliki pola tetap urutan sama atau sebab akibat). Akhirnya, saya memastikan rincian prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan ini dalam TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Science, bahwa definisi ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang memiliki susunan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang teratur. (Teratur pada TQZ Scientific System of Science adalah teratur sama dalam fungsi, jumlah, urutan, kaitan, dan paduan menyeluruh di semesta meski hal berbeda apa pun). Sebuah TOE, jawaban masalah dasar dan besar yang menghantui pikiran manusia selama dua ribu tahun atau dua millennium.

TEORI adalah sekelompok asumsi masuk akal dikemukakan untuk menjelaskan hubungan dua atau lebih fakta yang dapat diamati, menyediakan dasar mantap memperkirakan peristiwa masa depan (JAF Stoner).

TOE penting sekali dalam meneliti, belajar mengajar dan mengelola bidang apa pun. Memecahkan suatu masalah sulit, tetapi mengenali (fenomena) masalah lebih sulit lagi. Dengan mengetahui dan memahami TOE, sangat membantu mengenali bila berhadapan atau merasakannya. Misal, seseorang telah disodorkan gambaran prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan akan lebih mudah untuk mengambil kesimpulan jika suatu saat menghadapi (fenomena) satu atau banyak masalah, meski belum pernah dikenalnya. Jadi, fungsi TOE – pada TQZ Scientific System of Science tak lain sebuah paradigma scientific imagination benchmarking sistematis, berupa metode synectic kreatif menggunakan metafora dan analogi rinci menuntun suatu usaha memilih jalur proaktif terhadap suatu hal dengan memperhatikan fakta dan kemungkinan yang telah diidentifikasi dan dileluasakan, dengan lima dasar (posisi), fase (kualitas) dan level (sempurna). Suatu mental image atau model ilmiah analogi fenomena semesta dalam bentuk keteraturan yang dapat dipahami.

Contoh sederhana (meski sebagai TOE belum cukup teratur), jika gambaran prinsip dasar asumsi keteraturan tubuh mahluk hidup sempurna memiliki kepala, dada, perut, tangan dan kaki, sedang lainnya berupa bagian tambahan tubuh. Maka, seseorang yang meyakini dan memahami keteraturan ini akan melihat persamaan fungsi tubuh pada ikan gabus, kupu-kupu, monyet, ular dan burung pipit, selain perbedaan bagian itu. Dengan prinsip dasar asumsi keteraturan itu, tubuh mahluk hidup akan lebih mudah diteliti, pelajari dan diajarkan dengan benar, bahkan terhadap mahluk hidup unik lain yang baru dilihat.

KARYA seorang ilmuwan berlandaskan keyakinan bahwa alam pada pokoknya teratur. Bukti yang menunjang keyakinan itu dapat dilihat dengan mata telanjang bukan hanya pada pola sarang lebah atau pola kulit kerang, tetapi ilmuwan juga menemukan keteraturan pada setiap tingkat kehidupan (Henry Margenau).

Bukti monster (ilmu) pengetahuan demikian besar, merugikan dan banyak di sekeliling. Contoh monster-monster itu, dalam seminar dan diskusi, buku dan makalah, ulasan dan kritikan berbagai masalah di mana-mana tidak menyuguh keteraturan. Misal, bahasan mencipta puisi, cara menulis, atau mendefinisikan sesuatu saja, tanpa jelas kepala, tangan, badan, perut, dan kakinya, bahkan tanpa memastikan yang dijelaskan itu adalah bagian kaki atau kepala. Atau lebih parah lagi, tidak diketahui apakah yang disajikan itu kaki, jari, atau gigi, karena jumlahnya demikian tidak tetap dan berbeda. (Perhatikan kesimpulan utama penyebab masalah dan pemecahannya bidang ilmu hal yang sama sekali pun, bisa satu, dua, tiga, empat, lima, enam, sembilan, tujuhbelas, limapuluhdua, dan seterusnya, belum lagi bicara keteraturan urutan dan kaitan antar penyebab atau antar pemecahan yang disebutkan itu). Apalagi membahas masalah mengenai cara mengatasi krisis pangan, krisis energi atau strategi keunggulan usaha (suatu organisasi, daerah, bahkan negara), pasti monster lebih mengerikan.

Contoh nyata monster raksasa, menunjukkan belum teraturnya kelompok ilmu sebagai ilmu pengetahuan. Deobold B. Van Dalen menyatakan, dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu-imu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalam artian yang sepenuhnya. Di pihak lain terdapat pendapat bahwa secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan berkembang juga meskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam. Menurut kalangan lain adalah tak dapat disangkal bahwa dewasa ini ilmu-ilmu sosial masih berada dalam tingkat yang belum dewasa. (Ilmu dalam Persfektif, Jujun S. Suriasumantri, 1977:134). Juga C.A. Van Peursen, dalam tahap perkembangan ilmu pengetahuan kemajuan bidang ilmu alam lebih besar daripada ilmu kehidupan, dan ilmu kehidupan lebih maju dari ilmu kebudayaan (Strategi Kebudayaan: 1976:184-185). Sedang di dunia akademi, berjuta-juta hasil penelitian seluruh dunia kurang berguna dan sukar maju karena berupa monster maha raksasa, tanpa TOE yang merangkai sebagai satu kesatuan the body of science.

Akhirnya, bagaimana mungkin (manusia) siapa pun yang terlibat proses meneliti, belajar, mengajar dan menggunakan ilmu pengetahuan sepanjang hidup dapat berpikir tenang, selama prinsip dasar asumsi keteraturan (ilmu) pengetahuannya belum beres? Sebab, jika prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan yang didapat dan diberikan saja kebenarannya meragukan, maka kredibilitas kemampuan, nilai, gelar (dan status) seseorang (dan organisasi) itu pun diragukan. Karena, sebenar atau setinggi apa pun nilai memuaskan didapat dari pendidikan dengan pelajaran bahan yang buruk atau salah, tetaplah buruk atau salah, (setelah mengetahui bagaimana kebenaran suatu hal itu) sebenarnya. Dan, tanpa keteraturan TOE, penelitian dan belajar mengajar, seminar dan diskusi, buku dan makalah, ulasan dan kritikan berbagai masalah terus menghasilkan monster di mana-mana. Banyak buang tenaga, waktu dan biaya percuma. Fatal dan mengerikan.

LEBIH baik menjadi manusia Socrates kritis yang tidak puas, daripada menjadi babi tolol yang puas (Henry Schmandt).

BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)