Selasa, 04 September 2007

Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot ..!!

All children are born geniuses ; 9.999 out of every 10.000 are swiftly, inadvertaently degeniusized by grownups.
Buckminster Fuller

Minggu lalu saya memberikan pelatihan motivasi dan pengembangan diri di suatu perusahaan blue chip. Saat sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, “Pak, apa yang menjadi kunci sukses untuk bisa berhasil dalam penjualan/selling?”

“Mengapa bapak mengajukan pertanyaan ini?” saya balik bertanya.

“Saya telah mengikuti sangat banyak pelatihan. Namun, saya merasakan ada sesuatu, di dalam diri saya, yang terus menghambat diri saya. Saya tidak bisa bekerja secara maksimal,” jawab peserta ini.

Saya lalu menjelaskan mengenai Konsep Diri. Bagaimana pengaruh Konsep Diri terhadap kinerja kita. Bila Konsep Diri kita positip maka akan sangat mudah bagi kita untuk meraih keberhasilan. Sebaliknya, bila Konsep Diri buruk maka kita akan sangat sulit berhasil, di bidang apa saja yang kita lakukan. Prestasi hidup kita berbanding lurus dengan Konsep Diri kita. Konsep Diri sebenarnya adalah operating system yang menjalankan komputer mental kita.

“Kalau memang Konsep Diri itu sedemikian penting, lalu mengapa kebanyakan orang Konsep Dirinya kurang baik? Hal ini tercermin dari prestasi hidup mereka yang biasa-biasa. Bisa Bapak jelaskan asal muasal terbentuknya Konsep Diri?” kejarnya lagi.

Nah, pertanyaan saya pada anda, pembaca, “Sejak kapankah Konsep Diri ini mulai terbentuk? Faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan Konsep Diri?”

Apa yang saya uraikan di bawah ini adalah jawaban saya kepada peserta seminar itu.

Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita dilahirkan. Ada dua masa kritis yang perlu kita, sebagai orangtua dan pendidik, cermati. Periode pertama adalah pada usia 0 – 6 tahun. Periode ini sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0 – 3 thn dan 3 – 6 thn. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam hidup seorang anak merupakan fondasi yang akan digunakan sebagai landasan untuk mengkonstruksi dirinya pada tiga tahun ke dua. Selanjutnya apa yang telah terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan digunakan sebagai fondasi untuk mengembangkan diri lebih lanjut.

Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD. Lima tahun pertama hidup anak di SD merupakan masa kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan orangtua dan pendidik. Mengapa lima tahun di SD ini sangat penting?

Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Di Indonesia, anak SD kelas 1 sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita “harus” bisa mencapai nilai yang bagus. Kalau tidak baik nilainya maka akan dicap anak bodoh, bloon, tolol, goblok, telmi, otak udang, idiot,dan masih banyak istilah “keren” lainnya (maaf bila saya menggunakan kata-kata yang kurang santun).

Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang menjadi kunci pembentukan Konsep Diri anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Spanyol.

Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa. Mengapa matematika dan bahasa? Di seluruh dunia, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R yaitu Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam bahasa Indonesia adalah 3M yaitu Membaca, Menulis, dan Menghitung.

Saya setuju dengan pentingnya anak menguasi 3M dengan alasan berikut. Pertama, bahasa adalah kunci untuk memahami bahan ajar. Anak yang lemah kemampuan bahasanya akan sangat sulit untuk bisa mempelajari bahan ajar yang disampaikan guru. Mengapa ? Karena semua bahan ajar disampaikan dengan menggunakan bahasa sebagai media atau pengantar. Kedua, matematika sangat penting untuk mengembangkan logika berpikir dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya teringat saat dua tahun lalu saya dan istri ke Singapore untuk mencari buku Sains kelas 1 SD. Kami berencana menggunakan buku Sains ini di sekolah kami, Anugerah Pekerti. Oleh staff di toko buku itu kami diberi tahu bahwa di Singapore, selama 2 tahun pertama anak di SD, mereka hanya diajarkan 3 bidang studi, yaitu bahasa Inggris, Matematika, dan bahasa Ibu (misalnya Mandarin, Melayu, India). Bidang studi lainnya baru diajarkan mulai kelas 3 SD.

Saya mendapat penjelasan bahwa hal ini disengaja agar saat anak mempelajari suatu materi, saat mereka kelas 3 SD, mereka telah mempunyai fondasi yang kuat yaitu kemampuan baca, tulis, dan hitung yang baik. Bandingkan dengan apa yang harus dijalani anak-anak kita di Indonesia. Saat kemampuan berbahasa mereka masih belum bagus anak, di Indonesia, telah dituntut untuk mempelajari sangat banyak materi. Ditambah lagi, pada umumnya anak didik kita lemah di Matematika.

Anda mungkin bertanya, ”Mengapa kemampuan bahasa dan matematika yang kurang baik dapat berpengaruh negatip terhadap Konsep Diri seorang anak?”

Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan di propinsi Almeria di Spanyol, dengan menggunakan SDQ Questionnaire. Penelitian ini dilakukan terhadap 245 murid SD. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa bidang studi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan matematika.

Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut:

1. Prestasi akademik menentukan konsep diri
Pengalaman akademik, baik keberhasilan maupun kegagalan, lebih mempengaruhi konsep diri anak, daripada sebaliknya.

2. Level konsep diri mempengaruhi level keberhasilan akademik

3. Konsep diri dan prestasi akademik saling mempengaruhi dan saling menentukan

4. Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi konsep diri dan prestasi akademik

Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di sekolah? Anak, sejak SD kelas 1, telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya? Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat. Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orangtua mulai memberi label ”bodoh” pada anak ini. Yang terjadi selanjutnya adalah proses pemrogramam atau lebih tepatnya ”pembodohan” anak karena Konsep Diri anak buruk.

Lalu bagaimana dengan matematika. Ini setali tiga uang. Proses pembelajaran matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, dan sama sekali tidak fun. Di mana saja, bila saya memberikan seminar pendidikan, saya selalu bertanya pada orangtua maupun guru, ”Apa mata pelajaran yang paling dibenci atau ditakuti anak didik?” Jawabannya selalu sama, ”Matematika”. Mengapa anak sampai takut atau benci matematika?

Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak. Apa maksudnya? Jika kita mengacu pada Piaget (teori perkembangan kognitif) dan Montessori (proses konstruksi diri anak) maka pada usia SD anak harus belajar dengan cara konkrit. Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat dan dipegang anak saat anak belajar simbol matematika. Angka ”1”, ”2”, ”3”, dan seterusnya, ini adalah simbol dan bersifat abstrak. Untuk bisa benar-benar memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, semi abstak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang berbeda.

Saat ini banyak orangtua, khususnya para ibu, yang bangga karena anaknya, yang masih SD kelas 1 atau 2, dapat dengan cepat menghitung perkalian 3 digit x 3 digit, karena ikut kursus menghitung cepat. Hal yang sering mereka abaikan adalah mereka tidak tahu apakah anak menguasai konsep dengan benar atau tidak. Saya pernah bertanya pada seorang ibu yang sedemikian bangga dengan anaknya yang bisa menghitung cepat, ”Bu, 3 x 1 itu artinya apa?”

”Lha, 3 x 1 sama dengan 3,” jawabnya cepat.

”Benar. Saya tahu bahwa 3 x 1 itu sama dengan 3. Dan 1 x 3 juga sama dengan 3. Tapi, secara konsep ini berbeda. 3 x 1 itu apakah 1-nya 3 kali (1+1+1) atau 3-nya satu kali (3),” tanya saya lagi.

Setelah berpikir sejenak dan mungkin agak kaget karena mendapat pertanyaan yang sangat ”remeh” ini akhirnya ia menjawab, ”Lha, 3 x 1 itu berarti 3-nya satu kali.”

”Ibu yakin dengan jawaban ini,” tanya saya lagi.

”Yakin Pak,” jawabnya.

Saya tahu kalau ia tidak yakin dengan membaca bahasa tubuhnya.

”Bu, kalau di resep dokter tertulis 3x1, ini apakah ibu akan memberi anak ibu 3 kapsul sekali minum atau satu kapsul sebanyak 3 x. Satu di pagi hari, satu di siang hari, dan satu di malam hari?” tanya saya lagi.

Mendengar pertanyaan ini wajahnya langsung merah dan ia tersenyum kecut sambil berkata, ”Ya sudah tentu satu kapsul satu kali minum. Lha kalo tiga kapsul sekali minum anak saya bisa overdosis. Bapak ini nggak tahu atau pura-pura nggak ngerti?” jawabnya sambil cepat berlalu.

Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal terutama saat anak duduk di SD kelas 4 dan seterusnya. Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya tidak kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi akademik yang buruk, sekali lagi, sangat berpengaruh terhadap Konsep Diri anak. Persis sama seperti hasil penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan anak tidak bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya.

Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi? Habislah anak kita. Nilainya pasti jeblok. Hal ini, kalau terjadi berulang kali (repetisi), ditambah lagi orangtua atau guru mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur yang dipandang memiliki otoritas), ditambah lagi emosi yang intens yang terjadi dalam diri seorang anak, maka langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah sadar yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program negatip, dalam bentuk Konsep Diri yang buruk.

Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk? Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri. Kedua, anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan. Dan yang kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah.

Ada satu buku bagus yang ditulis kawan karib saya, Ariesandi Setyono, yang berjudul ”Mathemagics – Cara Jenius Belajar Matematika”, yang perlu anda baca. Buku ini menjelaskan secara detil proses pembelajaran matematika yang benar. Aries, dengan cara yang sangat luar biasa , mampu membuat anak didiknya, dengan hati gembira, mengerjakan soal latihan matematika sebanyak 26 (dua puluh enam) halaman non stop. Baru-baru ini Aries kembali mampu membuat anak didiknya, murid SD kelas 1 dan 2, mengerjakan soal-soal latihan matematika selama 120 (seratus dua puluh) menit non stop. Saat diminta berhenti, muridnya malah ngomel dan minta terus. Murid mengerjakan soal dengan hati riang, sama sekali tanpa ada tekanan atau stress. Untuk soal ujian akhir semester, Aries memberikan 200 (dua ratus) soal yang harus dikerjakan muridnya, bukan pilihan ganda. Semua anak mampu mengerjakan hanya dalam waktu rata-rata 45 menit dengan nilai rata-rata kelas 85.

Konsep Diri yang positip sangat penting bagi seorang anak dan juga untuk orang dewasa. Fondasi yang rapuh (Konsep Diri jelek) tidak memungkinkan kita untuk bisa membangun gedung bertingkat (sukses) di atasnya.

Anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius namun proses ”pendidikan” yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Saya menamakan kondisi ini sebagai ”idiot”. Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal.

* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller Born to be a Genius, Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success, Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan , dan Hypnosis: The Art of Subconscious Communication. Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com

[Pembelajar.Com::]

http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=476

Pesan dari Tri Raharjo:
Artikel Yang Sangat Menarik..!!!!
12 2007 - 20:

Salam,
Pembelajar.Com
intermuda@yahoo.com

Tidak ada komentar: